Dalam khazanah keilmuan Islam, terdapat banyak istilah yang merangkum kondisi atau keadaan manusia di muka bumi. Salah satu konsep yang sering dibahas, meskipun mungkin tidak sepopuler 'dunia' atau 'akhirat', adalah Ad Dhuna (kadang dieja Dhu'na atau Dhun'a). Istilah ini secara mendasar mengacu pada kondisi keterikatan, kesibukan yang berlebihan, atau kesenangan sesaat yang melalaikan manusia dari tujuan hakikinya.
Secara etimologis, kata yang terkait dengan konsep ini seringkali merujuk pada sesuatu yang rendah, hina, atau bersifat sementara. Dalam konteks spiritual, Ad Dhuna bukanlah dunia itu sendiri (yang merupakan tempat beramal), melainkan cara pandang dan sikap seorang mukmin terhadap dunia.
Islam mengajarkan keseimbangan. Dunia (ad-dunya) adalah ladang untuk akhirat (al-akhirah). Namun, ketika fokus utama seorang hamba beralih dari mencari ridha Allah menjadi mengejar kesenangan duniawi tanpa batas, maka ia telah terjerumus ke dalam jebakan Ad Dhuna. Hal ini menyebabkan hati menjadi keras, lupa akan kematian, dan lalai dalam menunaikan kewajiban ibadah.
Kecenderungan manusia adalah mencintai apa yang cepat didapatkan dan terlihat nyata. Harta, jabatan, popularitas, dan kemewahan adalah wujud nyata dari kesenangan duniawi yang jika dicintai secara berlebihan akan menjadi penghalang utama. Rasulullah ﷺ pernah bersabda yang maknanya kurang lebih, "Cintailah dunia sebatas yang akan menahanmu di dunia, dan cintailah akhirat sebatas yang akan membuatmu kekal di dalamnya."
Keterikatan pada duniawi dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk. Yang paling jelas adalah keserakahan material. Seseorang mungkin bekerja keras luar biasa, tetapi tujuannya bukan untuk menafkahi keluarga dengan cara yang diridhai Allah, melainkan semata-mata akumulasi kekayaan tanpa batas. Kesibukan mencari harta ini bisa menghilangkan waktu salat berjamaah, membaca Al-Qur'an, atau bahkan melupakan hak orang lain.
Selain itu, Ad Dhuna juga bisa muncul dalam bentuk obsesi terhadap pujian dan pengakuan sosial (riya' dan sum'ah). Di era modern, hal ini sering terlihat dalam penggunaan media sosial, di mana validasi dari orang lain menjadi prioritas, menutupi niat tulus dalam berbuat baik. Ketika amal perbuatan didasarkan pada pandangan manusia, maka pahala dari sisi Allah akan hilang, dan yang tersisa hanyalah fatamorgana kebanggaan duniawi.
Penting sekali untuk ditekankan bahwa Islam tidak mengharamkan kepemilikan duniawi. Memiliki harta yang cukup untuk hidup layak, membangun keluarga yang sakinah, dan memiliki sarana untuk berdakwah adalah bagian dari nikmat Allah yang patut disyukuri. Para Nabi dan sahabat radhiyallahu 'anhum juga hidup di dunia dan memiliki harta, namun hati mereka senantiasa terikat pada akhirat.
Perbedaannya terletak pada orientasi. Jika dunia adalah alat untuk meraih akhirat, maka dunia itu baik. Jika dunia dijadikan tujuan akhir, di mana segala upaya dicurahkan hanya demi kenikmatan sesaat, maka inilah yang disebut sebagai jebakan Ad Dhuna yang tercela. Kehidupan yang didominasi oleh kenikmatan yang fana ini akan terasa hampa saat menghadapi kematian.
Untuk menjauhi perangkap kesibukan duniawi yang melalaikan, seorang muslim harus secara rutin melakukan muhasabah (introspeksi diri). Mengingat kematian adalah pengingat paling kuat yang dapat memisahkan antara urgensi akhirat dan kesia-siaan duniawi.
Selanjutnya, memperkuat kualitas ibadah ritual (mahdo) seperti salat, puasa, dan zikir akan menyeimbangkan spiritualitas agar tidak terlalu condong pada urusan materi. Dengan memahami hakikat Ad Dhuna sebagai sesuatu yang sementara dan penuh ujian, seorang mukmin akan lebih tekun mempersiapkan bekal untuk kehidupan abadi, menjadikan setiap kenikmatan duniawi sebagai jembatan, bukan sebagai tujuan akhir perjalanan hidupnya.