Ilustrasi dialog yang konstruktif antar sudut pandang.
Dalam khazanah keilmuan Islam, Ikhtilaf merujuk pada perbedaan pendapat atau pandangan di antara para ulama atau cendekiawan mengenai suatu masalah, khususnya dalam ranah fiqih (hukum praktis) dan ijtihad (upaya penafsiran hukum). Perbedaan pendapat ini bukanlah tanda kegagalan, melainkan sebuah keniscayaan yang muncul dari keragaman penafsiran teks-teks suci (Al-Qur'an dan Sunnah) serta pemahaman konteks.
Adab Al Ikhtilaf adalah seperangkat etika, tata krama, dan cara yang benar dalam menyikapi dan mengekspresikan perbedaan pendapat tersebut, sehingga perbedaan tidak berujung pada perpecahan, permusuhan, atau penghujatan.
Islam memandang perbedaan pendapat yang didasari oleh dalil yang kuat sebagai rahmat. Salah satu hadis masyhur menyebutkan bahwa perbedaan pendapat umat ini adalah rahmat (walaupun keaslian sanadnya masih diperdebatkan, maknanya diterima secara luas). Hal ini menunjukkan bahwa keluwesan dalam memahami syariat adalah bagian dari kemudahan yang diberikan Allah SWT.
Untuk menjaga persatuan umat dan integritas keilmuan, Adab Al Ikhtilaf harus dipegang teguh. Berikut adalah beberapa prinsip fundamental yang harus dipatuhi:
Bagaimana cara kita berdialog ketika bertemu dengan pandangan yang berbeda? Adab Al Ikhtilaf menekankan pada cara penyampaian argumen:
Diskusi harus diarahkan untuk menguji kekuatan dalil dan logika, bukan menyerang pribadi atau karakter orang yang berbeda pendapat. Mencela kehormatan lawan bicara adalah pelanggaran etika yang fatal.
Mengakui batasan ilmu diri sendiri. Ketika mendapati dalil yang lebih kuat dari pendapat yang sedang dianut, seorang muslim harus siap untuk merujuk dan menarik pendapatnya (ruju').
Menggunakan bahasa yang santun, jelas, dan tidak provokatif. Hindari menggunakan kata-kata kasar atau tuduhan bid'ah tanpa dasar yang kuat, terutama di ruang publik atau media sosial.
Penting untuk memisahkan isu yang merupakan inti keyakinan (ushuluddin/aqidah) yang sifatnya baku, dengan isu yang merupakan ranah ijtihad (furu’iyah). Dalam ushuluddin, toleransi terhadap perbedaan sangat sempit, sementara dalam furu’iyah, kelapangan dada sangat diperlukan.
Jika prinsip Adab Al Ikhtilaf ditinggalkan, konsekuensinya sangat merusak. Tanpa etika yang benar, perbedaan pendapat mudah berubah menjadi pertengkaran sengit. Umat bisa terpecah belah karena isu-isu sekunder, mengabaikan musuh bersama, dan terjebak dalam fanatisme buta terhadap kelompok atau madzhab tertentu. Islam menginginkan umatnya kuat dalam prinsip namun fleksibel dalam praktik yang bersifat interpretatif.
Menginternalisasi Adab Al Ikhtilaf berarti menegakkan tegaknya harmoni sosial di tengah keberagaman pemikiran. Ini adalah cerminan kedewasaan spiritual dan intelektual seorang muslim.