Ilustrasi harapan dan cahaya setelah kegelapan.
Surat Ad Dhuha (Dhuha berarti "Waktu Duha" atau pertengahan pagi) adalah surat ke-93 dalam Al-Qur'an yang diturunkan di Mekkah. Surat ini memiliki peran penting sebagai penghibur hati Nabi Muhammad SAW pada masa-masa sulit dan keraguan. Ketika Rasulullah ﷺ mengalami jeda wahyu (fatratul wahy), beliau merasa sedih dan khawatir, seolah-olah Allah telah meninggalkan beliau. Surat Ad Dhuha turun untuk menghilangkan kesedihan tersebut dan memberikan jaminan akan kasih sayang Allah SWT.
Ayat-ayat sebelumnya menegaskan bahwa Allah tidak meninggalkan dan tidak membenci Nabi-Nya. Setelah rangkaian penegasan dan penghiburan tersebut, datanglah perintah yang sangat tegas mengenai sikap kita terhadap nikmat yang telah diterima dan terhadap sesama, yang tertuang jelas dalam ayat kesepuluh.
Ayat yang menjadi fokus pembahasan ini adalah firman Allah SWT:
Terjemahan Indonesianya adalah: "Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang (meremehkan)."
Arti surat Ad Dhuha ayat 10 adalah sebuah instruksi langsung dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad ﷺ, yang sekaligus menjadi pelajaran universal bagi seluruh umat Islam. Ayat ini secara eksplisit melarang segala bentuk kekerasan, penindasan, atau sikap merendahkan terhadap anak yatim.
Kata "taqhar" (تقهر) yang berasal dari akar kata qahra memiliki makna yang sangat kuat. Ia tidak hanya berarti melarang kekerasan fisik, tetapi juga mencakup penindasan secara psikologis, penghinaan, meremehkan kedudukan mereka, mengambil hak warisan mereka, atau memperlakukan mereka dengan kasar dan merendahkan martabat mereka sebagai manusia.
Mengapa larangan ini sangat ditekankan? Karena Nabi Muhammad ﷺ sendiri adalah seorang yatim piatu. Allah mengingatkan beliau melalui ayat-ayat sebelumnya bahwa Dia telah memelihara dan mengasihi beliau ketika beliau berada dalam keadaan yatim. Oleh karena itu, sebagai balasan atas rahmat yang telah diterima, beliau diperintahkan untuk membalas kasih sayang itu kepada anak-anak yatim lainnya.
Ayat ini menegaskan bahwa perhatian terhadap kaum yang lemah, terutama anak yatim, adalah manifestasi nyata dari keimanan seseorang. Jika seseorang mengklaim mencintai Allah, salah satu buktinya adalah kepeduliannya terhadap mereka yang kehilangan pelindung. Arti surat Ad Dhuha ayat 10 menjadi tolok ukur sejauh mana seorang Muslim menghargai nikmat dan rahmat yang diterimanya.
Dalam konteks sosial, anak yatim seringkali rentan dieksploitasi, baik secara ekonomi maupun emosional. Islam menutup rapat-rapat pintu ini dengan perintah tegas agar mereka diperlakukan dengan hormat, penuh kasih sayang, dan hak-hak mereka dipenuhi tanpa ada pengurangan sedikit pun.
Ayat 10 ini tidak berdiri sendiri. Ia adalah puncak dari rangkaian perintah dalam surat ini. Setelah Allah menegaskan, "Bukankah Kami telah melapangkan dadamu?" (Ayat 1), dan "Dan Kami tinggikan sebutan (nama)-mu" (Ayat 4), maka perintah untuk berbuat baik kepada yatim (Ayat 10) menjadi bentuk syukur praktis.
Lebih lanjut, ayat setelahnya, yaitu Ad Dhuha ayat 11, melengkapi perintah tersebut: "Dan terhadap orang yang meminta, maka janganlah engkau mengusirnya." Jika anak yatim adalah prioritas utama yang tidak boleh ditekan, maka pengemis atau peminta bantuan juga memiliki hak untuk diperlakukan dengan santun. Ini menunjukkan keseimbangan antara penghormatan terhadap yang tertindas (yatim) dan empati terhadap yang membutuhkan bantuan (peminta).
Secara keseluruhan, arti surat Ad Dhuha ayat 10 adalah panggilan untuk mewujudkan rasa syukur atas pertolongan Allah dengan cara melindungi dan memuliakan mereka yang paling lemah di tengah masyarakat. Ayat ini mengajarkan bahwa keimanan sejati harus tercermin dalam tindakan nyata, terutama dalam melindungi mereka yang tidak memiliki kekuatan untuk membela diri. Ayat ini adalah pengingat bahwa setiap orang, terlepas dari statusnya, berhak atas martabat dan kebaikan.