Batik, sebagai salah satu warisan budaya Indonesia yang diakui dunia, memiliki beragam corak yang kaya makna. Salah satu yang paling memikat dan sarat nilai sejarah adalah Batik Majapahit. Batik ini bukan sekadar kain bercorak, melainkan sebuah kapsul waktu yang membawa kita kembali ke masa keemasan salah satu kerajaan terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit.
Keberadaan motif-motif yang diasosiasikan dengan Majapahit, meskipun dokumentasi tertulisnya terbatas, terungkap melalui temuan arkeologis dan interpretasi seni rupa peninggalan era tersebut. Motif-motif ini seringkali mencerminkan kosmologi, struktur sosial, dan filosofi hidup masyarakat agraris yang makmur pada masa itu. Warna-warna yang dominan sering kali adalah cokelat tanah (soga), hitam pekat, dan putih gading, mencerminkan keaslian dari bahan pewarna alami yang digunakan.
Salah satu ciri khas yang sering dikaitkan dengan warisan Majapahit adalah penggunaan motif geometris yang tegas dan mengandung makna spiritual mendalam. Motif seperti Kawung yang melambangkan kesempurnaan dan keteraturan alam, serta motif Pudak Setegal yang sering diinterpretasikan sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran, diyakini telah ada dan digunakan oleh bangsawan Majapahit. Motif-motif ini bukan sekadar dekorasi; mereka adalah media komunikasi visual tentang status sosial, harapan, dan keyakinan religius masyarakat masa itu.
Penguasaan teknologi pewarnaan pada masa itu juga sangat maju. Pengrajin Majapahit sangat lihai dalam memanfaatkan akar mengkudu dan kulit kayu soga untuk menghasilkan pigmen cokelat kemerahan yang khas dan tahan lama. Nuansa warna ini mencerminkan kedekatan mereka dengan elemen bumi dan alam yang menjadi sumber kehidupan kerajaan.
Seiring runtuhnya Majapahit, banyak warisan seni, termasuk pola batik, mengalami penyerapan atau adaptasi oleh kerajaan-kerajaan penerusnya, terutama di Jawa Timur dan pesisir utara. Namun, pada abad ke-20, para budayawan dan pengrajin modern memulai upaya serius untuk merekonstruksi atau ‘membangkitkan’ kembali esensi otentik dari Batik Majapahit. Upaya ini sangat penting agar identitas visual kerajaan besar ini tidak hilang ditelan zaman.
Proses rekonstruksi Batik Majapahit modern sering melibatkan penelitian mendalam terhadap relief candi, arca, dan prasasti yang diperkirakan mengandung representasi tekstil. Hasilnya adalah perpaduan antara kesederhanaan pola geometris kuno dengan teknik pembatikan kontemporer. Batik jenis ini kini seringkali menjadi pilihan utama bagi mereka yang mencari busana yang sarat nilai historis tanpa terlihat terlalu formal atau kuno.
Penggunaan Batik Majapahit kini melampaui sekadar busana harian. Ia seringkali digunakan dalam upacara adat, pertunjukan seni tradisional, bahkan sebagai simbol identitas daerah Jawa Timur yang ingin menegaskan akar sejarahnya yang panjang dan megah. Keanggunan yang bersahaja dan makna yang terpendam menjadikan Batik Majapahit sebagai permata tak ternilai dalam khazanah batik Indonesia.
Apa yang membedakan Batik Majapahit dari corak pesisir (seperti Pekalongan) atau pedalaman (seperti Solo/Yogyakarta)? Jawabannya terletak pada motif dan palet warna. Batik Majapahit cenderung lebih tegas, menggunakan garis-garis yang kuat, dan minim ornamen flora atau fauna yang ramai layaknya batik pesisir. Fokus utamanya adalah pada struktur geometris yang terinspirasi dari candi dan struktur tata ruang kerajaan. Sementara motif pedalaman lebih menekankan pada filosofi kebijaksanaan dan keselarasan kosmik yang diekspresikan melalui sulur yang lebih luwes.
Memahami Batik Majapahit adalah memahami perjalanan sejarah peradaban di Nusantara. Setiap guratan canting pada kain ini adalah penghormatan abadi terhadap kemegahan masa lalu, memastikan bahwa kisah Kerajaan Majapahit tetap hidup, tidak hanya dalam buku sejarah, tetapi juga terlukis indah pada helaian kain yang kita kenakan.