Dalam rangkaian ritual ibadah umat Islam, terdapat dua panggilan utama yang menjadi penanda dimulainya waktu shalat: Azan dan Iqomah. Jika Azan berfungsi sebagai pemberitahuan awal bahwa waktu shalat telah tiba dan mengajak umat untuk bersiap-siap, maka **Iqomah** memiliki peran yang lebih spesifik dan mendesak. Iqomah adalah seruan terakhir, penanda bahwa shalat berjamaah akan segera dimulai, dan inilah saatnya jamaah untuk segera berdiri dan membentuk barisan.
Secara harfiah, kata "Iqomah" dalam bahasa Arab berarti menegakkan atau meluruskan. Ini sangat relevan dengan fungsinya; yaitu meluruskan barisan shalat, memastikan semua jamaah telah hadir di masjid atau mushala, dan siap untuk berdiri tegak menghadap kiblat. Meskipun durasinya jauh lebih singkat dibandingkan Azan, dampak psikologis dan fungsional Iqomah sangat besar dalam menjaga ketertiban pelaksanaan shalat berjamaah.
Meskipun keduanya adalah lafaz seruan shalat, terdapat perbedaan signifikan antara Azan dan Iqomah. Azan di kumandangkan ketika waktu shalat baru masuk, biasanya dengan suara yang lebih lantang karena bertujuan menjangkau audiens yang lebih luas. Sementara itu, Iqomah diucapkan sesaat sebelum takbiratul ihram, dan suaranya cenderung lebih pelan serta hanya ditujukan kepada mereka yang sudah berada di lokasi shalat.
Lafaz Iqomah hampir menyerupai lafaz Azan, namun terdapat dua tambahan penting yang tidak ada dalam Azan. Tambahan tersebut adalah pengulangan kalimat "Allahu Akbar" di awal, dan penambahan kalimat 'Qad qāmatish-shalāh' (Sesungguhnya shalat telah didirikan) sebanyak dua kali setelah lafaz Hayya 'alash-shalāh.
Iqomah berfungsi sebagai 'alarm' terakhir. Ketika muazin mengucapkan "Qad qāmatish-shalāh," secara kolektif jamaah mengetahui bahwa waktu jeda telah habis. Momen ini sangat krusial. Ini adalah waktu di mana setiap muslim harus menghentikan percakapan duniawi, meluruskan niat, membetulkan barisan, merapatkan shaf (barisan), dan mempersiapkan hati untuk sepenuhnya hadir dalam menghadap Allah SWT.
Oleh karena itu, para ulama menekankan pentingnya merespons Iqomah dengan serius. Sebagaimana sunnahnya merespons Azan dengan lafaz yang sesuai, jamaah juga dianjurkan untuk tidak terburu-buru bergerak saat Iqomah dikumandangkan, namun tetap sigap menuju posisi shalat. Ketergesa-gesaan saat mendekati shalat sering kali mengurangi kekhusyukan yang telah dibangun sejak Azan berkumandang.
Dalam mazhab Syafi'i, hukum mengumandangkan Iqomah bagi shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Walaupun shalat tetap sah tanpa Iqomah, meninggalkannya ketika mampu melakukannya berarti kehilangan kesempurnaan ibadah. Dalam konteks shalat Jumat atau shalat wajib lainnya di masjid, Iqomah adalah bagian integral dari ritual yang membedakannya dengan shalat munfarid (sendirian).
Keindahan Islam terletak pada keteraturan ini. Iqomah memastikan bahwa transisi dari kehidupan sehari-hari yang penuh hiruk pikuk menuju kekhusyukan shalat berlangsung secara terstruktur dan bermartabat. Dengan mendengarkan Iqomah, hati kita diingatkan kembali akan janji suci antara hamba dan Tuhannya. Iqomah adalah jembatan terakhir menuju kedamaian spiritual yang dicari dalam setiap rakaat shalat.