ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ
"(Yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."
Ayat keenam dari Surat Al-Fatihah, "Ihdināṣ-ṣirāṭal-mustaqīm" (اهدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ), merupakan inti permohonan seorang hamba kepada Rabb-nya. Setelah memuji Allah dan mengakui keesaan-Nya dalam ayat sebelumnya, di ayat keenam ini, posisi manusia beralih dari pengakuan menjadi permohonan yang fundamental: **petunjuk**.
Permohonan Mendalam: Meminta Petunjuk
Kata kunci dalam ayat ini adalah "Ihdinā" (اهدِنَا) yang berarti "Tunjukilah kami" atau "Bimbinglah kami". Ini menunjukkan pengakuan total bahwa manusia, dengan segala keterbatasannya, tidak mampu menemukan jalan kebenaran hakiki tanpa bimbingan ilahiah. Permintaan ini bersifat kolektif ("kami"), menyiratkan bahwa petunjuk ini bukan hanya dibutuhkan oleh individu yang berdoa, tetapi juga seluruh komunitas dan umat manusia.
"Ash-Shiraat Al-Mustaqim" (الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ) diterjemahkan sebagai **Jalan yang Lurus**. Jalan ini bukan sekadar jalur fisik, melainkan sebuah konsep komprehensif yang mencakup:
- Aplikasi Syariat: Ketaatan penuh terhadap perintah dan larangan Allah (Al-Qur'an dan Sunnah).
- Kebenaran Akidah: Keyakinan yang sahih dan bebas dari kesyirikan maupun bid'ah.
- Akhlak Mulia: Cara bersikap dan berinteraksi yang diridhai Allah.
Tiga Kelompok yang Harus Dihindari
Makna ayat ini menjadi semakin jelas dan tegas ketika diikuti oleh ayat ketujuh, yang menjelaskan definisi dari "Jalan yang Lurus" dengan cara menunjukkan jalan-jalan yang sesat sebagai kontras. Permohonan agar ditunjukkan jalan yang lurus sekaligus merupakan doa agar dijauhkan dari tiga kategori jalan yang menyesatkan:
1. Jalan Orang yang Dimurkai (Maghdhubi ‘Alaihim)
Kelompok ini, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir, merujuk pada mereka yang **mengetahui kebenaran (mengenal petunjuk) namun menolaknya secara sengaja dan membangkang**. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu, tetapi ilmu itu tidak mereka amalkan karena dorongan hawa nafsu dan kesombongan. Dalam konteks Yahudi (menurut banyak mufassir), mereka adalah contoh dari golongan yang memiliki kitab suci namun menyimpang dari ajarannya karena kedengkian atau kepentingan duniawi.
2. Jalan Orang yang Sesat (Adh-Dhaallin)
Kelompok kedua adalah mereka yang **tidak memiliki pengetahuan atau petunjuk yang benar (jahil)**, sehingga mereka tersesat dalam kegelapan. Mereka tidak sengaja menempuh jalan salah karena ketidaktahuan atau karena mengikuti tradisi buta tanpa verifikasi kebenaran. Dalam konteks tafsir, ini sering dikaitkan dengan kekeliruan beberapa kelompok non-Islam yang menyimpang dari ajaran tauhid murni karena kesalahpahaman mendasar.
Pentingnya Istiqamah Pasca Permintaan
Ayat 6 ini menempatkan manusia dalam posisi yang rendah hati namun penuh harap. Doa ini adalah pengakuan bahwa keimanan sejati adalah sebuah perjuangan konstan. Tidak cukup hanya mengaku beriman; manusia harus secara aktif memohon agar Allah menjaga langkahnya agar tidak tergelincir ke dua jurang bahaya di atas: **kesombongan pengetahuan yang menolak (murka)** dan **kebodohan yang membabi buta (kesesatan)**.
Dengan mengucapkan Ihdināṣ-ṣirāṭal-mustaqīm, seorang Muslim menegaskan komitmennya untuk berjalan di jalan kenabian dan para sahabat (yang mendapat nikmat), yakni jalan yang penuh kejelasan, ketenangan, dan membawa kepada keridhaan ilahi. Ini adalah komitmen untuk senantiasa mencari dalil, mengikuti kebenaran, dan menjauhi segala bentuk penyimpangan spiritual, menjadikannya fondasi utama dalam seluruh aktivitas ibadah seorang Muslim.