Dalam percakapan sehari-hari, dalam dunia sastra, hingga dalam ranah media massa, kita sering kali mendengar istilah "klise adalah". Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan klise? Secara sederhana, klise merujuk pada suatu frasa, ide, plot, atau elemen artistik yang telah digunakan begitu sering hingga kehilangan daya kebaruan dan dampak emosionalnya. Ia menjadi prediksi yang mudah ditebak, sebuah jalan pintas mental yang sering kali terasa membosankan atau dangkal.
Kata "klise" sendiri berasal dari bahasa Prancis, merujuk pada pelat cetak yang digunakan dalam proses litografi atau pencetakan surat kabar pada abad ke-19. Pelat ini memungkinkan pencetakan ulang gambar atau teks yang sama berulang kali dengan cepat dan murah. Seiring waktu, makna kata ini bergeser. Ketika sebuah ide atau ekspresi dicetak ulang secara berlebihan (secara harfiah maupun kiasan), ia kehilangan nilai orisinalnya, sama seperti pelat cetak yang sudah usang.
Konsep klise adalah keberadaan suatu elemen yang awalnya mungkin segar dan orisinal, namun karena popularitas atau kemudahannya untuk diterapkan, ia mulai muncul di mana-mana. Dalam konteks sastra dan seni, klise adalah musuh utama kreativitas. Penulis atau seniman yang bergantung pada klise sering dituduh kurang berusaha mencari perspektif baru dalam menggambarkan realitas.
Klise tidak hanya terbatas pada kata-kata; ia hadir dalam berbagai bentuk. Memahami jenis klise membantu kita mengidentifikasinya lebih cepat:
Jika klise adalah sesuatu yang harus dihindari, mengapa ia tetap melekat dalam komunikasi kita? Ada beberapa alasan psikologis dan praktis:
Pertama, efisiensi kognitif. Otak manusia menyukai jalan pintas. Menggunakan frasa klise adalah cara tercepat untuk menyampaikan ide yang sudah dipahami secara umum. Ini mengurangi beban kognitif, baik bagi pembicara maupun pendengar.
Kedua, kenyamanan sosial. Dalam situasi sosial, menggunakan frasa yang dikenal dapat membangun rasa kesamaan dan mengurangi risiko salah tafsir. Klise berfungsi sebagai jembatan pemahaman bersama.
Ketiga, kegagalan dalam observasi mendalam. Seringkali, seniman menggunakan klise karena mereka belum menggali cukup dalam untuk menemukan cara baru dalam mengamati dunia atau emosi manusia. Klise adalah jangkar yang aman.
Meskipun klise nyaman, dampak negatifnya signifikan, terutama ketika tujuan kita adalah untuk menginspirasi, meyakinkan, atau menghibur secara mendalam. Ketika sebuah teks atau ucapan dipenuhi klise, pembaca atau pendengar cenderung menjadi apatis. Mereka berhenti 'mendengar' karena mereka sudah tahu apa yang akan dikatakan selanjutnya. Dalam konteks pemasaran atau persuasi, ini berarti pesan Anda gagal menembus kebisingan informasi.
Sebagai contoh, menyatakan bahwa "Waktu adalah uang" mungkin benar, tetapi itu tidak memiliki dampak yang sama kuatnya dengan menjelaskan secara rinci bagaimana setiap menit yang dihabiskan dengan sia-sia mempengaruhi hasil akhir sebuah proyek. Klise sering kali merusak nuansa dan kedalaman yang seharusnya dimiliki komunikasi yang efektif.
Lalu, bagaimana cara untuk menghindarinya? Kuncinya adalah dengan selalu mengutamakan orisinalitas dan spesifisitas. Saat Anda menulis atau berbicara, tantang setiap frasa yang terasa terlalu familiar. Tanyakan pada diri Anda: "Apakah ada cara yang lebih spesifik, lebih personal, atau lebih jujur untuk mengatakan hal ini?"
Alih-alih menggunakan klise plot, gali motivasi karakter yang unik. Daripada mengandalkan frasa umum, deskripsikan sensasi atau pemandangan dengan detail sensorik yang belum pernah terpikirkan orang lain. Mengidentifikasi apa itu klise adalah langkah pertama; langkah selanjutnya adalah memiliki keberanian untuk menjadi berbeda, meskipun itu berarti harus bekerja sedikit lebih keras untuk menemukan kata-kata yang tepat.