Ilmu Tentang Bacaan Shalat

Hukum Membaca Ayat Setelah Al-Fatihah dalam Shalat

Dalam tata cara pelaksanaan salat wajib lima waktu maupun salat sunah, terdapat rukun bacaan yang sangat fundamental, yaitu membaca Surah Al-Fatihah. Surah ini disebut sebagai "Ummul Kitab" atau induk Al-Qur'an karena kedudukannya yang sangat sentral. Namun, pertanyaan yang sering muncul di benak umat Islam adalah mengenai hukum membaca ayat atau surah tambahan setelah Al-Fatihah, khususnya pada rakaat pertama dan kedua salat.

Untuk memahami hukum ini, kita perlu merujuk pada ajaran Nabi Muhammad SAW, yaitu hadis-hadis sahih yang menjelaskan praktik beliau saat melaksanakan salat. Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa membaca surah setelah Al-Fatihah, terutama pada dua rakaat pertama salat fardu, adalah bagian dari kesempurnaan salat dan dianjurkan (sunnah).

Dasar Hukum Membaca Surah Setelah Al-Fatihah

Hukum membaca surah setelah Al-Fatihah memiliki landasan yang kuat dalam praktik Nabi Muhammad SAW. Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW selalu menambah bacaan pada rakaat pertama dan kedua salatnya.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca Fatihah kitab (Al-Fatihah)." Dan ketika ditanyakan tentang bacaan setelah Al-Fatihah, beliau menjawab, "Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur'an." (Meskipun hadis ini seringkali difokuskan pada kewajiban Al-Fatihah, konteksnya sering dikaitkan dengan penambahan surah).

Para fuqaha (ahli fikih) dari berbagai mazhab, seperti Syafi'i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi, memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai status hukumnya, namun kesepakatan mayoritas adalah bahwa hukumnya adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan) bagi makmum (yang mengikuti imam) dan sunnah 'ain bagi imam dan orang yang salat sendirian, kecuali pada rakaat Maghrib dan Isya.

Perbedaan Antar Rakaat

Perlakuan bacaan setelah Al-Fatihah berbeda antara rakaat pertama/kedua dengan rakaat ketiga/keempat, terutama dalam salat fardu:

Rakaat Pertama dan Kedua (Salat Fardu)

Ini adalah posisi di mana membaca surah tambahan sangat dianjurkan. Nabi SAW seringkali memanjangkan bacaan pada dua rakaat awal ini. Misalnya, beliau membaca surah pendek setelah Al-Fatihah, terkadang surah yang cukup panjang seperti Al-Baqarah, Ali 'Imran, atau An-Nisa' pada rakaat pertama. Bagi makmum, mengikuti bacaan imam (jika imam membaca) adalah sunnah, namun jika imam mengeraskan suara dan makmum ingin membaca dalam hati, sebagian ulama membolehkannya berdasarkan hadis tertentu.

Rakaat Ketiga dan Keempat (Salat Fardu)

Pada rakaat ketiga dan keempat salat fardu (Zuhur, Asar, Maghrib, Isya), hukum membaca surah tambahan setelah Al-Fatihah dipandang berbeda. Menurut mayoritas ulama (terutama Syafi'iyah dan Hanabliyah), membaca surah tambahan pada rakaat ini adalah sunnah yang sangat ringan atau bahkan dianjurkan untuk ditinggalkan demi menjaga kekhusyukan dan mengikuti praktik Nabi SAW yang seringkali hanya membaca Al-Fatihah saja pada rakaat terakhir. Imam Malik berpendapat makruh (tidak disukai) membaca surah tambahan pada rakaat ketiga dan keempat salat fardu.

Hukum Bagi Makmum dan Imam

Dalam salat berjamaah, status hukum bacaan makmum sangat bergantung pada kondisi imam.

Kesimpulannya, membaca ayat atau surah setelah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama salat fardu adalah sunnah yang sangat dianjurkan. Sementara pada rakaat ketiga dan keempat salat fardu, praktik yang paling sesuai dengan kesempurnaan sunnah adalah membaca Al-Fatihah saja. Namun, jika terjadi ketidakpahaman atau ingin mengikuti pendapat ulama yang membolehkan, membaca surah pendek tetap dianggap sebagai pelengkap yang menyempurnakan ibadah, asalkan dilakukan tanpa memberatkan diri atau jamaah lain. Konsistensi mengikuti tuntunan Nabi SAW dalam setiap aspek salat adalah kunci mencapai salat yang khusyuk dan sempurna.

🏠 Homepage