Visualisasi fokus pada teks dan pengulangan
Dalam konteks pembelajaran agama Islam, terutama mengenai tata cara shalat, istilah "menjaharkan" bacaan Fatihah merujuk pada praktik mengucapkan atau membaca Surah Al-Fatihah dengan suara yang terdengar (dapat didengar oleh diri sendiri atau orang lain di sekitar), bukan dibaca secara lirih (bisikan). Ini adalah salah satu aspek penting dalam tata cara shalat, khususnya dalam jenis shalat tertentu yang dianjurkan untuk dibaca dengan suara keras.
Secara etimologis, "menjaharkan" berasal dari kata dasar "jahr" yang berarti keras atau terang. Oleh karena itu, menjaharkan bacaan Fatihah berarti melaksanakannya dengan volume suara yang jelas.
Shalat lima waktu dibagi menjadi dua kategori utama berdasarkan cara pembacaan Al-Fatihah dan surat setelahnya: shalat jahr (keras) dan shalat sirr (lirih). Pemahaman mengenai ini sangat krusial untuk mengetahui kapan bacaan Fatihah harus dijaharkan.
Shalat Jahr (Keras): Meliputi shalat Maghrib, Isya, dan Subuh. Dalam dua rakaat pertama shalat-shalat ini, imam (atau makmum jika shalat sendirian) dianjurkan untuk menjaharkan bacaan Al-Fatihah dan surat pendek setelahnya. Tujuannya adalah agar bacaan tersebut terdengar.
Shalat Sirr (Lirih/Pelan): Meliputi shalat Dzuhur dan Ashar. Dalam shalat ini, bacaan Al-Fatihah dan surat pendek dibaca dengan suara pelan, sekadar terdengar oleh diri sendiri.
Ada beberapa alasan mendasar mengapa menjaharkan bacaan Fatihah dilakukan dalam shalat-shalat tertentu, yang semuanya berlandaskan pada tuntunan dan praktik Rasulullah SAW serta para sahabat:
Ketika shalat berjamaah dan imam menjaharkan bacaan Al-Fatihah, kedudukan makmum menjadi sedikit berbeda dibandingkan shalat sirr. Dalam mazhab Syafi'i, misalnya, makmum dianjurkan untuk mendengarkan bacaan imam dengan seksama. Jika makmum mendengarkan dengan seksama, maka itu sudah dianggap mencukupi bacaan Fatihahnya, dan tidak perlu mengulang bacaan Fatihah secara sirr.
Namun, ada perbedaan pandangan ulama mengenai keharusan mendengarkan ini. Mayoritas ulama sepakat bahwa mendengarkan adalah sunnah yang dianjurkan, terutama ketika bacaan imam terdengar jelas. Jika makmum tidak mendengar sama sekali karena jarak atau kebisingan, maka ia tetap wajib membaca Fatihah secara sirr untuk dirinya sendiri. Intinya, menjaharkan bacaan oleh imam adalah haknya, sementara tugas makmum adalah menyimak atau menggantinya jika tidak terdengar.
Bagi seseorang yang melaksanakan shalat sendirian (munfarid), ia memiliki kebebasan lebih besar dalam menentukan volume bacaan Fatihah untuk shalat jahr. Meskipun dianjurkan untuk menjaharkan bacaan pada waktu shalat jahr (Maghrib, Isya, Subuh), sifat "menjaharkan" di sini adalah suara yang dapat didengar oleh dirinya sendiri (setidaknya bibirnya bergerak dan suara samar terdengar oleh telinga sendiri). Tidak ada kewajiban untuk mengeraskan hingga tetangga rumah mendengarnya. Ini tetap memenuhi unsur sunnah menjaharkan.