Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia memegang peran sentral sebagai pemegang kekuasaan yudikatif tertinggi. Sebagai penjaga gawang terakhir keadilan bagi seluruh warga negara, independensi, integritas, dan profesionalisme lembaga ini menjadi tolok ukur utama tegaknya supremasi hukum di nusantara. Untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut, Mahkamah Agung menetapkan sebuah panduan moral dan etika yang dikenal sebagai Motto Mahkamah Agung.
Motto ini bukan sekadar slogan administratif, melainkan sebuah komitmen filosofis yang harus dihidupi oleh setiap hakim agung, hakim ad hoc, serta seluruh aparatur peradilan di bawah naungannya. Ia berfungsi sebagai kompas moral dalam setiap pengambilan keputusan, memastikan bahwa setiap putusan yang dikeluarkan didasarkan pada keadilan substantif dan kepastian hukum.
Motto yang diusung oleh Mahkamah Agung RI merefleksikan upaya berkelanjutan lembaga peradilan untuk bertransformasi menjadi badan peradilan yang modern, akuntabel, dan dipercaya publik. Motto ini biasanya terangkum dalam sebuah frasa yang padat makna, namun memiliki implikasi yang sangat luas terhadap budaya kerja dan pelayanan publik di lingkungan yudikatif.
Motto resmi Mahkamah Agung yang menjadi landasan utama adalah:
"Tegakkan Hukum Secara Adil dan Berwibawa"
Frasa ini mengandung dua pilar utama yang saling menguatkan. Pilar pertama adalah "Tegakkan Hukum Secara Adil". Keadilan adalah esensi dari fungsi peradilan. Ini berarti putusan tidak boleh memihak, harus objektif, dan harus selaras dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat, meskipun kepastian hukum tetap harus dihormati. Hakim dituntut untuk menerapkan hukum tanpa diskriminasi, mempertimbangkan fakta persidangan secara cermat, dan menggali nilai-nilai kebenaran di baliknya.
Pilar kedua, yaitu "Secara Berwibawa", menekankan pada kualitas proses dan sikap lembaga itu sendiri. Wibawa peradilan dibangun dari integritas para hakim, kecepatan proses, transparansi, serta pelayanan yang profesional. Ketika proses penegakan hukum dilakukan dengan wibawa, maka putusan yang dihasilkan akan memiliki legitimasi yang kuat di mata masyarakat, sehingga kepatuhan terhadap hukum akan meningkat secara alami. Tanpa wibawa, keadilan yang ditegakkan pun akan rentan dipertanyakan.
Pencanangan motto ini secara implisit mendorong implementasi berbagai program reformasi peradilan yang sedang digalakkan oleh Mahkamah Agung. Penerapannya terlihat dalam berbagai inisiatif, mulai dari peningkatan profesionalisme hakim melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, hingga penerapan teknologi informasi untuk meminimalisir interaksi manusia yang berpotensi koruptif.
Misalnya, implementasi e-Court dan E-Litigasi merupakan wujud nyata dari upaya mewujudkan penegakan hukum yang berwibawa, yakni dengan cara meningkatkan transparansi dan efisiensi. Masyarakat dapat memantau perkembangan perkaranya secara daring, mengurangi dugaan pungutan liar, dan mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai putusan. Ini sejalan dengan semangat melayani dengan profesionalitas tinggi.
Selain aspek teknis, aspek etik juga menjadi sorotan utama. Perilaku hakim di luar maupun di dalam persidangan harus mencerminkan integritas yang tinggi. Jika seorang hakim tidak berwibawa karena gaya hidup atau perilaku tercela, maka wibawa institusi Mahkamah Agung secara keseluruhan akan terkikis, meskipun putusannya secara yuridis benar. Oleh karena itu, pengawasan internal dan kepatuhan terhadap Kode Etik Hakim menjadi garda terdepan dalam menjaga marwah motto ini.
Tujuan akhir dari penegakan hukum yang adil dan berwibawa adalah terwujudnya kepastian hukum dan rasa keadilan bagi pencari keadilan. Kepastian hukum (legal certainty) menjamin bahwa setiap orang mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya berdasarkan hukum yang berlaku. Sementara rasa keadilan (justice feeling) memastikan bahwa hasil putusan diterima sebagai sesuatu yang benar dan pantas. Keseimbangan antara dua unsur ini adalah tantangan konstan bagi Mahkamah Agung.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, "keadilan" seringkali bersinggungan dengan nilai-nilai kearifan lokal dan moralitas komunal. Oleh karena itu, hakim didorong untuk tidak hanya menjadi juru tulis undang-undang (legal formalistis), tetapi juga menjadi penegak keadilan yang humanis. Motto tersebut secara efektif menggarisbawahi bahwa penegakan hukum haruslah tetap berpihak pada kemanusiaan, sebagaimana diamanatkan oleh sila kedua Pancasila, tanpa mengabaikan otoritas hukum yang dipegang oleh Mahkamah Agung. Keberhasilan MA diukur dari seberapa sering masyarakat merasa bahwa keadilan telah terwujud berkat upaya lembaga ini.