Mesut Özil. Nama ini akan selalu membangkitkan kenangan yang kompleks bagi para pendukung Arsenal FC. Didatangkan dari Real Madrid dengan status mega bintang, ekspektasi terhadap gelandang serang asal Jerman keturunan Turki ini sangatlah tinggi. Ia adalah tipe pemain yang mampu mengubah permainan hanya dengan satu sentuhan magis, seorang orkestrator sejati di lini tengah.
Kedatangan Penuh Harapan
Ketika Arsène Wenger berhasil mengamankan tanda tangan Özil pada musim panas 2013, euforia melanda Emirates Stadium. Özil dikenal sebagai pencipta peluang ulung, pemain yang memiliki visi lapangan superior—seperti yang ia tunjukkan saat memenangkan Piala Dunia 2014 bersama Jerman. Di Arsenal, ia diharapkan menjadi jembatan antara lini tengah yang solid dengan lini serang yang haus gol. Dalam beberapa musim pertamanya, ia memenuhi janji itu.
Statistik assist-nya berbicara banyak. Özil seringkali menjadi raja assist di Liga Primer Inggris, menampilkan operan-operan terobosan (through balls) yang seolah-olah melihat celah yang tidak terlihat oleh mata manusia. Keindahan permainannya terletak pada kemampuannya untuk bergerak tanpa bola, menemukan ruang di antara garis pertahanan lawan, dan kemudian melepaskan umpan akurat dengan kaki kirinya yang mematikan. Bagi para penggemar yang menghargai seni sepak bola, menyaksikan Özil dalam performa terbaiknya adalah sebuah kemewahan.
Kontroversi dan Perubahan Dinamika
Namun, narasi Özil di London Utara perlahan berubah. Kritik mulai muncul terkait konsistensinya, terutama dalam pertandingan-pertandingan besar (big games). Tuntutan fisik dalam Liga Primer yang terkenal keras tampaknya menjadi batu sandungan bagi seorang pemain yang mengandalkan kecerdasan spasial ketimbang kekuatan fisik murni. Ada anggapan bahwa ia terlalu mudah 'menghilang' dari permainan ketika tim sedang tertekan.
Memasuki era Unai Emery dan kemudian Mikel Arteta, peran Özil mulai dipertanyakan lebih dalam. Meskipun ia tetap menjadi pemain dengan gaji tertinggi di klub, kontribusinya di lapangan semakin menurun. Masalah cedera, kebugaran, dan yang paling signifikan, gesekan politik dan sosial di luar lapangan, mulai mengalihkan fokus dari kemampuan sepak bolanya. Isu terkait pandangannya terhadap isu Uyghur di Tiongkok membuatnya terpinggirkan dari skuad utama Arsenal pada periode akhir masa baktinya.
Warisan yang Terbagi
Mesut Özil meninggalkan Arsenal pada awal 2021, mengakhiri masa baktinya dengan catatan yang cukup ironis. Di satu sisi, ia adalah salah satu gelandang paling berbakat yang pernah mengenakan seragam merah-putih. Ia membawa kreativitas langka ke dalam tim dan menjadi figur kunci di bawah Wenger. Catatan assistnya akan dikenang sebagai salah satu yang terbaik di era modern klub tersebut.
Di sisi lain, akhir hubungannya dengan klub terasa pahit. Kepergiannya yang 'dingin' dan biaya gaji yang besar tanpa kontribusi nyata di musim terakhirnya meninggalkan luka bagi sebagian fans dan manajemen. Meskipun demikian, tidak ada yang bisa menyangkal bahwa ketika Özil sedang 'hidup' di lapangan, ia adalah maestro yang mampu memecah pertahanan paling rapat sekalipun. Ia mungkin tidak memenangkan gelar Liga Primer bersama Arsenal, tetapi warisannya sebagai pemain dengan bakat alami yang luar biasa di posisi nomor 10 tidak akan mudah dilupakan oleh para pencinta sepak bola yang menghargai keindahan sebuah umpan kunci. Perjalanan Mesut Özil Arsenal adalah kisah tentang bakat murni yang diselimuti kompleksitas dunia modern.