Surat Al-Fatihah, pembuka Al-Qur'an, adalah fondasi spiritual bagi setiap Muslim. Setelah memuji dan mengagungkan Allah SWT dalam tiga ayat pertama, dan mengakui bahwa hanya kepada-Nya kita menyembah dan memohon pertolongan di ayat keempat, kita tiba pada ayat kelima: "Iyyāka na'budu wa iyyāka nasta'īn" (Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan).
(Arab: Iyyāka na'budu wa iyyāka nasta'īn)
(Terjemahan: Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.)
Ayat kelima ini adalah puncak keintiman dan pengakuan total seorang hamba di hadapan Penciptanya. Ia terdiri dari dua frasa penting yang saling berkaitan erat, yaitu Iyyāka na'budu (Hanya Engkaulah yang kami sembah) dan Iyyāka nasta'īn (dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan).
Kata "Iyyāka" (Engkaulah) diletakkan di awal untuk penekanan (taqdim), menunjukkan eksklusivitas ibadah hanya ditujukan kepada Allah SWT. Ibadah (ibadah) dalam Islam memiliki makna yang sangat luas. Ia bukan sekadar ritual seperti shalat, puasa, atau haji, melainkan mencakup segala aspek kehidupan seorang Muslim—mulai dari cara berbicara, bekerja, berinteraksi sosial, hingga berpikir. Menyembah Allah berarti menjadikan ketaatan dan keridhaan-Nya sebagai tujuan tertinggi dalam setiap tindakan. Ketika kita mengucapkan ini, kita mendeklarasikan pembebasan diri dari perbudakan kepada hawa nafsu, dunia, atau makhluk lain. Ini adalah penegasan ketuhanan tunggal (Tauhid Uluhiyyah).
Pengakuan ini menuntut kemurnian niat. Jika ibadah dilakukan untuk mencari pujian manusia (riya') atau demi keuntungan duniawi, maka ibadah tersebut telah kehilangan esensinya dan bertentangan dengan makna sejati ayat ini. Oleh karena itu, kalimat "Hanya Engkaulah" menjadi filter utama bagi setiap amal perbuatan kita.
Frasa kedua ini merupakan pelengkap logis dari penegasan ibadah. Setelah menegaskan bahwa kita beribadah hanya kepada-Nya, kita mengakui keterbatasan diri dan menegaskan bahwa kita tidak mampu menjalankan ibadah tersebut tanpa bantuan dan pertolongan-Nya. Memohon pertolongan (isti'anah) adalah pengakuan bahwa segala daya dan upaya manusia terbatas.
Permohonan pertolongan ini mencakup segala lini kehidupan: pertolongan untuk menaati-Nya, pertolongan untuk menjauhi larangan-Nya, pertolongan dalam menghadapi musibah, dan pertolongan dalam mencapai tujuan mulia di dunia dan akhirat. Dengan mengucapkan "dan hanya kepada Engkaulah", kita menolak ketergantungan kepada selain Allah, termasuk kepada kekuatan diri sendiri, jabatan, harta, atau bahkan bantuan makhluk lain. Kita mengembalikan semua urusan kepada Al-Wali (Penolong) yang Maha Kuasa.
Keindahan ayat ini terletak pada keseimbangan sempurna antara 'amal (ibadah/usaha) dan tawakkal (berserah diri/harapan). Kita diperintahkan untuk beribadah dan berusaha sekuat tenaga (Iyyāka na'budu), namun pada saat yang sama kita harus mengakui bahwa keberhasilan usaha itu sepenuhnya bergantung pada izin dan pertolongan Allah (Iyyāka nasta'īn).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa menggabungkan ibadah dan permohonan pertolongan dalam satu ayat menunjukkan bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan. Ibadah tanpa pertolongan Allah akan terasa berat dan tidak diterima, sementara permintaan pertolongan tanpa dibarengi ibadah yang sungguh-sungguh adalah bentuk kemunafikan. Seorang Muslim harus berjuang dalam ketaatan (ibadah) sambil senantiasa merendahkan diri memohon kemudahan dari Sang Pencipta (isti'anah).
Merenungkan QS Al-Fatihah ayat 5 setiap hari shalat memberikan efek terapeutik spiritual yang mendalam. Ayat ini berfungsi sebagai koreksi diri yang berkelanjutan. Ia mengingatkan kita bahwa fokus utama hidup kita adalah ketaatan murni kepada Allah, dan bahwa sumber kekuatan sejati kita bukan berasal dari eksternal, melainkan dari hubungan vertikal dengan-Nya. Ketika hati benar-benar menancapkan keyakinan ini, maka ketenangan jiwa akan menyelimuti, karena ia telah meletakkan beban kewajibannya pada pundak yang paling kuat.
Dengan menegaskan kembali penyerahan diri dan permohonan pertolongan ini, seorang Muslim seolah sedang menyegel janji sucinya dengan Rabb-nya, menegaskan kembali identitasnya sebagai hamba yang sadar akan tempatnya di alam semesta, yaitu tunduk dan memohon rahmat dari Yang Maha Agung.