Renungan QS Al-Kahfi Ayat 39: Dunia yang Fana

Ilustrasi Perbandingan Kekayaan Duniawi dan Akhirat Gambar sederhana yang menggambarkan pohon yang subur (kekayaan dunia) dan di sebelahnya ada gambar tanah yang kering (akhirat). Kekayaan Dunia Akan Hilang QS. Al-Kahfi: 39

Ayat Penegasan

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ إِن تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
"Dan mengapa kamu tidak mengatakan, ketika kamu memasuki kebunmu, 'Apa yang dikehendaki Allah (terjadi)! Tak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.' Sekalipun kamu melihatku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan anak."

Ayat ke-39 dari Surah Al-Kahfi ini merupakan bagian dari dialog antara pemilik kebun yang sombong dengan saudaranya yang beriman. Ayat ini adalah nasihat penting yang menekankan urgensi mengakui kebesaran Allah SWT bahkan saat menikmati limpahan nikmat duniawi.

Pentingnya Mengucapkan "Maa Sya Allah La Quwwata Illa Billah"

Inti dari ayat ini terletak pada ucapan yang disarankan kepada orang yang sedang bergelimang harta kekayaan: "Maa Sya Allah La Quwwata Illa Billah". Frasa ini mengandung dua pengakuan fundamental:

  1. "Maa Sya Allah" (Apa yang dikehendaki Allah): Ini adalah pengakuan bahwa segala sesuatu yang terjadi, baik berupa keberhasilan, kekayaan, atau kebun yang subur, semata-mata atas kehendak dan izin Allah. Ucapan ini berfungsi sebagai penangkal kesombongan dan ujub (rasa bangga diri) yang seringkali menyertai kesuksesan materi.
  2. "La Quwwata Illa Billah" (Tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah): Ini adalah pengakuan kerendahan hati bahwa tanpa kekuatan dan pertolongan dari Allah, kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki hanyalah ilusi. Kekuatan untuk mempertahankan atau bahkan menumbuhkan nikmat tersebut bergantung sepenuhnya pada sumber daya Ilahi.

Nasihat ini mengingatkan bahwa kenikmatan duniawi, betapapun melimpahnya, bersifat sementara dan rentan hilang. Dengan mengucapkan kalimat tasbih ini, seorang mukmin menjaga hatinya tetap terikat pada Sang Pemberi, bukan pada pemberian itu sendiri.

Kontras Antara Harta dan Iman

Ayat ini melanjutkan nasihat dengan perbandingan yang tajam, di mana saudara yang beriman berkata, "Sekalipun kamu melihatku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan anak." Ayat ini secara eksplisit menyoroti bahaya jika harta dan keturunan dijadikan tolok ukur superioritas sejati.

Bagi orang yang sombong, harta dan keturunan (sebagaimana disebutkan dalam konteks ayat-ayat sebelumnya) adalah indikator kemuliaan di mata manusia. Namun, bagi orang yang beriman, kemuliaan sejati terletak pada kedekatan dengan Allah dan amal shaleh, bukan pada kuantitas aset duniawi.

Dalam perspektif akhirat, harta yang banyak dan anak yang melimpah tidak menjamin keselamatan. Sebaliknya, kesombongan karena memandang rendah orang lain yang mungkin lebih sedikit hartanya adalah pintu menuju kehancuran, sebagaimana yang dialami oleh pemilik kebun tersebut. Ayat ini mengajak kita untuk meninjau ulang prioritas hidup: apakah kita lebih menghargai apa yang fana atau apa yang abadi?

Relevansi QS Al-Kahfi Ayat 39 di Era Modern

Di era modern, di mana media sosial seringkali menampilkan kemewahan dan pencapaian materi sebagai standar kesuksesan, pengingat dari Surah Al-Kahfi ayat 39 menjadi sangat relevan. Godaan untuk berbangga diri atas pencapaian profesional, aset properti, atau jumlah pengikut—yang semuanya bisa dianalogikan sebagai "kebun yang subur"—sangatlah besar.

Apabila seseorang meraih kesuksesan, baik itu jabatan tinggi atau kekayaan yang melimpah, ia dianjurkan untuk segera mengucap syukur dengan cara yang benar, yaitu dengan mengakui bahwa itu adalah anugerah murni dari Allah. Jika kita lupa mengucapkan "Maa Sya Allah," kita berisiko jatuh ke dalam perangkap pujian diri sendiri. Jika kita lupa mengucapkan "La Quwwata Illa Billah," kita akan merasa bahwa kemampuan kita adalah murni hasil jerih payah sendiri, padahal Allah adalah sumber segala daya.

Ayat ini adalah pelajaran tentang kerendahan hati spiritual di tengah kelimpahan materi. Ia mengajarkan bahwa kekayaan dan anak adalah ujian; bagaimana kita meresponsnya—dengan syukur atau kesombongan—yang menentukan hasil akhir kita di hadapan Allah SWT.

🏠 Homepage