Ayat ke-13 dari Surah Al-Kahfi (Gua) adalah pembuka yang sangat kuat dalam rangkaian kisah Ashabul Kahfi (Para Pemuda Ashabul Kahfi). Ayat ini berfungsi sebagai penegasan fundamental mengenai sifat Al-Qur'an sebelum narasi utama dimulai. Dengan mengucapkan Alhamdulillah, Allah SWT mengarahkan perhatian umat manusia kepada kesempurnaan dan kebenaran wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Inti dari ayat ini terletak pada frasa "wa lam yaj'al lahu 'iwajan" (dan Dia tidak menjadikan padanya kebengkokan sedikit pun). Kata 'iwaj secara harfiah berarti bengkok, berkelok-kelok, atau tidak lurus. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah yang murni, bebas dari kontradiksi, kesalahan, atau ketidakakuratan. Keakuratan ini adalah jaminan bahwa petunjuk yang terkandung di dalamnya adalah jalan yang lurus menuju kebenaran abadi.
Penegasan bahwa Al-Qur'an tidak bengkok memiliki implikasi luas dalam kehidupan seorang Muslim. Kebengkokan bisa termanifestasi dalam dua hal utama: secara isi (konten) dan secara jalan (metode).
Pertama, dari segi isi, Al-Qur'an tidak mengandung pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya. Allah menegaskan dalam ayat lain bahwa jika datang pertentangan dari selain Allah, niscaya mereka akan menemukan banyak perselisihan di dalamnya (QS An-Nisa: 82). Ayat 13 Al-Kahfi menjamin bahwa sumber hukum dan akidah kita adalah tunggal dan koheren.
Kedua, dari segi metode, Al-Qur'an menunjukkan jalan yang jelas dan tidak berliku-liku. Ia adalah petunjuk yang mudah dipahami bagi mereka yang mau berpikir dan bertakwa. Tidak seperti ajaran-ajaran lain yang mungkin ambigu atau menyesatkan, Al-Qur'an adalah shirāṭal mustaqīm (jalan yang lurus). Inilah yang menjadikannya pegangan teguh, terutama ketika kita menghadapi ujian hidup, sebagaimana yang akan diceritakan dalam kisah pemuda-pemuda Ashabul Kahfi.
Mengapa Allah memulai kisah tentang para pemuda yang melarikan diri dari kekafiran dengan penegasan tentang kesempurnaan Al-Qur'an? Para pemuda tersebut menghadapi pilihan ekstrem: tunduk pada kebatilan atau menghadapi ancaman kematian demi menjaga keimanan mereka. Keputusan mereka untuk mempertahankan tauhid adalah cerminan dari keyakinan teguh terhadap kebenaran yang dibawa oleh wahyu.
Ayat 13 menjadi penanda bahwa kisah yang akan dibaca selanjutnya bukanlah dongeng atau karangan, melainkan kebenaran hakiki yang datang dari sumber yang sempurna. Ayat ini memberikan legitimasi dan bobot kepada ujian yang mereka alami. Bagi pembaca, ini adalah pengingat bahwa ketika kita dihadapkan pada kebingungan atau godaan dunia yang tampak "menarik" namun menyesatkan, kita harus kembali kepada Al-Qur'an yang tidak memiliki cacat sedikit pun.
Pengakuan bahwa Al-Qur'an itu lurus mendorong seorang mukmin untuk berpegang teguh padanya. Di tengah arus pemikiran yang berubah-ubah dan tantangan zaman modern yang membawa banyak keraguan (kebengkokan), ayat ini menjadi jangkar. Jika kita merasa hidup kita berkelok-kelok atau penuh masalah, seringkali itu disebabkan karena kita menjauhi panduan yang lurus ini.
Ayat ini mengajarkan kita bahwa kesempurnaan ilahi adalah pondasi ketenangan batin. Ketika kita yakin bahwa kitab suci yang kita ikuti adalah wahyu yang benar, lengkap, dan tanpa cela, maka tantangan hidup—sekecil apapun ujian Ashabul Kahfi—dapat kita hadapi dengan keyakinan bahwa jalan yang kita tempuh adalah jalan yang diridhai Allah SWT. Pujian kepada Allah adalah pengakuan atas kesempurnaan ini, sebuah rasa syukur yang seharusnya selalu menyertai setiap lembar Al-Qur'an yang kita baca.