Dalam khazanah literatur keagamaan Islam, terutama Al-Qur'an, terdapat rangkaian kata yang memiliki bobot historis, teologis, dan retoris yang sangat besar. Salah satu rangkaian pembuka yang paling terkenal dan sering dijadikan landasan dialog adalah frasa pendek namun padat makna: "Qul ya ayyuhal". Frasa ini, yang secara harfiah berarti "Katakanlah, wahai orang-orang...", berfungsi sebagai mandat ilahi kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan sebuah pesan otentik dan tak terbantahkan kepada audiens tertentu.
Kata "Qul" (Katakanlah) bukanlah sekadar saran, melainkan perintah langsung dari Allah SWT. Ini menandakan bahwa materi yang akan disampaikan setelah perintah ini bukanlah opini pribadi, melainkan wahyu murni. Dalam konteks kenabian, ini menetapkan otoritas dan sumber pesan. Seseorang tidak boleh menolak atau mengubah isi pesan setelah mandat "Qul ya ayyuhal" diucapkan.
Kemudian diikuti oleh "Ya Ayyuhal" (Wahai Orang-orang...). Kata seru ini adalah alat retorika kuno yang sangat efektif untuk menarik perhatian secara penuh. Ini menunjukkan bahwa pesan yang akan disusulkan bersifat universal namun ditujukan secara spesifik kepada sekelompok orang yang dipanggil tersebut. Siapa yang dipanggil? Jawabannya sangat kontekstual, tergantung pada kelanjutan ayat setelah seruan pembuka ini.
Meskipun frasa "Qul ya ayyuhal" muncul dalam berbagai bentuk di Al-Qur'an, resonansi terkuat biasanya terhubung dengan Surah Al-Kafirun. Dalam surah tersebut, frasa lengkapnya adalah "Qul ya ayyuhal kafirun" (Katakanlah, wahai orang-orang kafir). Ayat ini menjadi penanda batasan yang jelas dalam hal akidah dan praktik keagamaan. Ia menetapkan prinsip pemisahan prinsipil antara tauhid murni dan penyembahan berhala atau ajaran yang bertentangan dengannya. Ini bukan tentang permusuhan personal, tetapi tentang ketegasan dalam pemahaman tentang Tuhan Yang Esa.
Namun, peran "Qul ya ayyuhal" meluas melampaui Surah Al-Kafirun. Dalam konteks yang berbeda, seruan ini bisa ditujukan kepada orang-orang yang beriman, orang-orang yang ragu, atau bahkan kepada pihak-pihak yang memiliki perspektif berbeda. Tujuannya selalu sama: untuk menyampaikan kebenaran yang datang dari sumber ilahi dengan cara yang paling tegas dan mudah ditangkap oleh pendengar.
Mengapa frasa yang sudah berabad-abad lamanya ini masih relevan? Karena inti dari "Qul ya ayyuhal" adalah tentang integritas komunikasi. Dalam era informasi yang serba cepat, di mana banyak pesan saling tumpang tindih dan kebenaran seringkali menjadi kabur, mandat untuk 'mengatakan' sesuatu yang otentik dan berotoritas menjadi sangat penting. Ketika seseorang atau sebuah institusi ingin menyampaikan prinsip dasar yang tak bisa ditawar, mereka harus mengadopsi ketegasan retorika yang sama—sebuah panggilan yang jelas untuk audiens yang jelas.
Seruan ini mengajarkan bahwa dialog yang konstruktif harus didasarkan pada kejujuran fundamental mengenai posisi masing-masing pihak. Jika ada perbedaan mendasar, seperti yang disampaikan dalam konteks kafir dan mukmin, maka harus ada pengakuan yang jujur tentang perbedaan tersebut sebelum dialog lebih lanjut dapat dilakukan. Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada negosiasi mengenai dasar-dasar keyakinan.
Memahami kekuatan perintah "Qul ya ayyuhal" membantu kita mengapresiasi bagaimana pesan-pesan ilahi dirancang untuk memiliki dampak maksimal. Ini adalah kombinasi sempurna antara otoritas (Qul), penargetan audiens (Ya Ayyuhal), dan kesiapan untuk menyampaikan pesan yang krusial. Frasa ini adalah jembatan antara kehendak Ilahi dan realitas manusia, menuntut respons yang serius dan tanpa kompromi terhadap inti ajaran yang dibawanya.
Oleh karena itu, ketika kita membaca Al-Qur'an dan menemukan seruan pembuka ini, kita harus bersiap diri. Kita sedang memasuki wilayah di mana kebenaran mutlak hendak dideklarasikan, dan pendengar, baik Nabi maupun kita yang membaca saat ini, dipanggil untuk mendengarkan dengan hati dan pikiran yang terbuka terhadap perintah yang datang dari Yang Maha Tinggi. Inilah warisan retorika yang terus bergema.