Ketika kita mempelajari Al-Qur'an, seringkali sangat penting untuk memahami konteks historis dan situasi sosial yang melatarbelakangi turunnya suatu surat atau ayat. Surat Al-Lail (Malam Hari), surat ke-92 dalam susunan mushaf, adalah salah satu surat Makkiyah yang sarat dengan pesan-pesan moral dan ajaran tentang perbedaan jalan hidup manusia. Namun, untuk benar-benar menghayati makna mendalamnya, kita perlu menelusuri apa yang terjadi sebelum surat Al-Lail ini diturunkan.
Visualisasi kontras antara kegelapan dan petunjuk.
Kondisi Mekah Pra-Islam dan Awal Dakwah
Surat Al-Lail diturunkan di Mekah. Periode Mekah adalah masa di mana umat Islam masih merupakan minoritas yang tertindas. Masyarakat Quraisy, kaum dominan di Mekah, sangat kental dengan tradisi paganisme, materialisme, dan hierarki sosial yang kaku. Mereka sangat menentang keras ajaran tauhid yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Sebelum turunnya Al-Lail, dakwah Islam menghadapi tantangan besar, terutama dalam meyakinkan orang tentang kehidupan setelah kematian dan pentingnya amal saleh dibandingkan kekayaan duniawi.
Konteks spesifik yang sangat relevan dengan tema Al-Lail adalah polarisasi antara dua tipe manusia: mereka yang berjuang karena keyakinan (meskipun miskin) dan mereka yang mengandalkan harta benda semata. Di periode awal ini, banyak sahabat Nabi yang masuk Islam berasal dari kalangan yang secara sosial kurang memiliki kedudukan atau bahkan budak, seperti Bilal bin Rabah atau Ammar bin Yasir. Mereka seringkali diejek atau disiksa karena meninggalkan jalur kesenangan duniawi demi memeluk kebenaran.
Fokus Ayat-Ayat Awal Al-Lail
Melihat pembukaan Surat Al-Lail: “Demi malam apabila menutupi (siang), dan demi siang apabila terang benderang,” (QS. Al-Lail: 1-2), kita melihat penekanan kuat pada dualitas alam semesta. Ini bukan sekadar deskripsi astronomis, melainkan metafora mendalam. Sebelum wahyu ini turun, masyarakat Mekah cenderung hidup dalam kesenangan yang serba cepat (diibaratkan siang) dan melupakan tanggung jawab spiritual. Kontras ini menegaskan bahwa ada siang (kesenangan dunia) dan ada malam (kesempatan untuk introspeksi dan ibadah).
Konteks inilah yang mendorong turunnya ayat-ayat yang memuji orang yang memberikan hartanya untuk membersihkan diri (tazkiyah) dan tidak mengharapkan balasan apa pun dari orang lain, kecuali mengharap ridha Tuhannya (ayat 17-21). Hal ini kontras langsung dengan mentalitas elite Quraisy yang menggunakan kekayaan mereka untuk mempertahankan status quo dan menekan kaum lemah.
Perbedaan Jalan Hidup sebagai Tema Sentral
Pesan utama yang muncul di tengah kondisi sosial tersebut adalah janji balasan yang setara dengan perbuatan. Sebelum Al-Lail, banyak orang yang merasa bahwa harta benda adalah penentu keberhasilan. Jika seseorang kaya, ia dianggap mulia oleh kaumnya. Surat ini hadir untuk membalikkan paradigma tersebut. Ia menegaskan bahwa kemuliaan sejati bukan terletak pada akumulasi kekayaan (yang menjadi pusat kehidupan banyak tokoh Mekah saat itu), melainkan pada ketakwaan dan kemurahan hati.
Oleh karena itu, pemahaman sebelum surat Al-Lail turun membawa kita pada gambaran komunitas yang sedang terbagi: satu sisi memuja materi dan kekuasaan, sisi lain sedang berjuang mempertahankan akidah dengan segala keterbatasan material mereka. Al-Lail datang sebagai pengingat ilahi bahwa pertanggungjawaban akhir akan didasarkan pada sejauh mana seseorang telah 'menjual' dirinya demi keridhaan Allah, bukan seberapa banyak aset dunia yang ia kumpulkan.
Signifikansi Pengorbanan di Tengah Penindasan
Kondisi dakwah yang sulit di Mekah memperkuat relevansi ayat-ayat tentang orang yang beriman dan beramal saleh meskipun mereka mungkin tidak memiliki banyak harta. Bagi para sahabat yang saat itu kehilangan harta, posisi sosial, atau bahkan disiksa, ayat-ayat seperti, "Maka sekali-kali ia tidak menempuh jalan yang mendaki (yang sulit)," (Al-Lail: 12) menjadi suntikan semangat bahwa jalan yang sulit di dunia ini adalah jalan menuju surga.
Sebaliknya, mereka yang menolak kebenaran dan memilih jalan kemudahan duniawi (disebutkan dalam ayat 8-11) dijanjikan kesukaran di kemudian hari. Mempelajari konteks ini membantu kita mengapresiasi keberanian para sahabat yang memilih jalur 'pendakian' spiritual di tengah dominasi pandangan materialistis yang berlaku di Mekah saat wahyu tersebut disampaikan.