Sholat Rabu Wekasan adalah sebuah praktik ibadah sunnah yang secara tradisional dilakukan oleh sebagian umat Muslim pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Bulan Safar sendiri dikenal dalam tradisi Islam Nusantara memiliki kekhususan tersendiri, sering dikaitkan dengan berbagai peristiwa historis atau dipercaya sebagai bulan turunnya banyak bala atau musibah. Oleh karena itu, pelaksanaan Sholat Rabu Wekasan ini erat kaitannya dengan tujuan untuk memohon perlindungan dan menolak bala.
Secara harfiah, "Wekasan" dalam bahasa Jawa berarti penghabisan atau terakhir. Sehingga, Rabu Wekasan merujuk pada hari Rabu terakhir dalam penanggalan bulan tersebut. Meskipun praktik ini sangat populer di kalangan masyarakat tertentu, penting untuk dicatat bahwa status hukumnya sebagai amalan yang sangat dianjurkan atau memiliki dasar hukum yang eksplisit dalam Al-Qur'an dan Hadits shahih masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Banyak ulama kontemporer cenderung melihatnya sebagai tradisi lokal (uruf) yang bernilai baik selama tidak bertentangan dengan syariat.
Inti dari pelaksanaan Sholat Rabu Wekasan adalah bentuk ikhtiar spiritual seorang Muslim dalam menghadapi potensi kesulitan hidup. Niat utama yang mendasarinya adalah ungkapan syukur kepada Allah SWT atas perlindungan-Nya selama bulan Safar berlalu, sekaligus permohonan agar Allah menjauhkan segala bentuk penyakit, bencana, dan kesusahan di hari-hari mendatang. Ini sejalan dengan prinsip dasar Islam bahwa seorang mukmin harus selalu berusaha (ikhtiar) melalui doa dan ibadah.
Dalam pandangan teologis yang mendukung amalan ini, disebutkan bahwa pada hari Rabu terakhir bulan Safar, Allah SWT menurunkan banyak sekali penyakit. Dengan melaksanakan sholat sunnah khusus dan diikuti dengan doa penolak bala, umat berharap terhindar dari musibah tersebut. Walaupun sumber spesifik mengenai penurunan bala pada hari itu seringkali bersifat mursal (tidak jelas sanadnya), niat baik untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui sholat sunnah tetaplah berpahala.
Tata cara Sholat Rabu Wekasan umumnya dilakukan setelah sholat Duhur atau Ashar, sebagai sholat sunnah mutlak yang dikerjakan secara munfarid (sendirian) atau berjamaah. Jumlah rakaat yang paling umum dilakukan adalah empat rakaat dengan satu kali salam, atau bisa juga dua rakaat salam dua kali.
Niat diucapkan dalam hati, menyesuaikan dengan tata cara sholat sunnah yang dipilih. Contoh niat empat rakaat: "Ushalli sunnatan arba’a raka’atin lillahi Ta’ala, karena mengharap perlindungan Allah di hari Rabu Wekasan ini. Allahu Akbar."
Rakaat-rakaat ini dilaksanakan seperti sholat sunnah pada umumnya, membaca surat Al-Fatihah dilanjutkan dengan surat pendek pilihan. Beberapa tradisi menyarankan pembacaan surat tertentu, namun jika tidak ada ketentuan khusus, membaca surat yang mudah dihafal sudah memadai.
Setelah salam penutup, momen terpenting dalam Sholat Rabu Wekasan adalah pembacaan doa khusus. Doa ini bertujuan memohon keselamatan dan penolakan bala. Doa yang seringkali dibaca adalah penutup yang berisi permohonan agar segala bala yang diturunkan Allah SWT pada hari tersebut dijauhkan dari pelaksana sholat dan keluarganya. Doa ini sebaiknya dilanjutkan dengan membaca Istighfar dan Shalawat Nabi.
Dalam pandangan fikih yang lebih ketat, amalan yang dilakukan karena meyakini adanya hari sial atau hari turunnya bala secara spesifik (selain hari Arafah atau hari raya tertentu) seringkali dianggap sebagai bentuk takhayul jika tidak memiliki dasar kuat dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu, ketika melaksanakan Sholat Rabu Wekasan, seorang Muslim harus memastikan bahwa keyakinan utama tetap tertuju pada Qudrat dan Iradah Allah semata, bukan pada hari atau waktu itu sendiri.
Jika amalan ini hanya dilakukan sebagai bentuk dzikir dan sholat sunnah biasa, yang mana pelaksanaannya diiringi niat memohon perlindungan (seperti halnya sholat sunnah Dhuha atau Tahajjud), maka hal tersebut tetap bernilai pahala karena melaksanakan ibadah sunnah. Kehati-hatian diperlukan agar tradisi lokal ini tidak berubah menjadi keyakinan yang mendalam bahwa hari Rabu Wekasan secara inheren membawa nasib buruk tanpa izin Allah. Seluruh hari dan waktu berada dalam genggaman dan ketentuan-Nya.