Di tengah fenomena alam yang sering kita saksikan, Suksom Pelangi—atau yang lebih dikenal sebagai pelangi—tetap menjadi salah satu tontonan visual paling memukau yang ditawarkan langit. Fenomena ini bukan sekadar lengkungan warna-warni yang muncul setelah hujan reda; ia adalah manifestasi indah dari interaksi kompleks antara cahaya matahari dan tetesan air di atmosfer. Kehadirannya selalu disambut dengan rasa takjub, mengingatkan kita akan keajaiban sederhana namun agung dari alam semesta.
Secara ilmiah, pelangi tercipta melalui proses yang disebut dispersi cahaya. Ketika sinar matahari, yang tampak putih bagi mata kita, menembus tetesan air hujan yang melayang di udara, cahaya tersebut dibiaskan (dibelokkan) dan dipantulkan kembali ke arah pengamat. Karena setiap warna dalam spektrum cahaya memiliki panjang gelombang yang berbeda, mereka dibiaskan pada sudut yang sedikit berbeda. Inilah yang memisahkan cahaya putih menjadi tujuh warna utama yang kita kenal: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu.
Istilah "Suksom Pelangi" sering kali membawa nuansa lokal atau puitis yang mendalam, namun esensinya tetap sama: sebuah busur cahaya spektakuler yang menghubungkan langit dan bumi. Untuk melihatnya, tiga syarat utama harus terpenuhi: matahari harus berada di belakang pengamat, harus ada tetesan air di udara (biasanya setelah atau saat hujan gerimis), dan langit di sisi matahari harus relatif cerah.
Representasi visual Suksom Pelangi setelah hujan.
Jauh melampaui fisika optik, Suksom Pelangi memegang tempat penting dalam berbagai mitologi dan budaya di seluruh dunia. Dalam banyak tradisi, pelangi dianggap sebagai jembatan antara dunia manusia dan dunia spiritual atau ilahi. Keindahannya yang transien—muncul sebentar lalu hilang—seringkali melambangkan harapan, janji, atau bahkan keberuntungan yang datang setelah masa sulit (hujan).
Di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, kisah-kisah rakyat sering mengaitkan ujung pelangi dengan harta karun tersembunyi, meskipun secara ilmiah hal ini tidak mungkin terjadi karena pelangi adalah ilusi optik yang posisinya bergantung pada pengamat. Namun, narasi ini menunjukkan betapa kuatnya daya tarik psikologis dari fenomena ini. Warna-warna yang berurutan memberikan pelajaran visual tentang keteraturan dalam kekacauan—bahkan setelah badai terburuk, keindahan yang terstruktur pasti akan muncul.
Terkadang, jika kondisi atmosfer mendukung, kita bisa menyaksikan pemandangan yang lebih langka: pelangi ganda. Pelangi sekunder ini selalu muncul di atas pelangi primer dan tampak lebih redup. Keunikan pelangi ganda terletak pada urutan warnanya yang terbalik. Jika pelangi utama (primer) memiliki urutan warna Merah di luar dan Ungu di dalam, pelangi sekunder akan memiliki Ungu di luar dan Merah di dalam.
Perbedaan ini disebabkan oleh pembiasan dan pemantulan cahaya di dalam tetesan air yang berbeda jumlahnya. Pada pelangi primer terjadi satu kali pemantulan internal, sedangkan pelangi sekunder mengalami dua kali pemantulan internal. Fenomena ini sekali lagi menegaskan bahwa alam semesta bekerja berdasarkan hukum fisika yang presisi, namun hasilnya selalu berupa keajaiban artistik yang tak terduga. Melihat Suksom Pelangi ganda dianggap sebagai pertanda keberuntungan yang luar biasa.
Meskipun pelangi adalah fenomena alami, untuk menikmatinya, kualitas udara dan lingkungan kita sangat berperan. Polusi udara dapat mengurangi kejelasan tetesan air dan memengaruhi intensitas warna pelangi. Oleh karena itu, setiap kali kita disuguhi pemandangan Suksom Pelangi, itu juga menjadi pengingat halus akan pentingnya menjaga kebersihan atmosfer kita.
Menghargai Suksom Pelangi berarti menghargai keseimbangan antara air, cahaya, dan udara. Fenomena ini memberikan jeda yang sangat dibutuhkan dari hiruk pikuk kehidupan modern, memaksa kita untuk berhenti sejenak, mengangkat pandangan ke langit, dan mengagumi tarian warna yang diciptakan oleh alam semesta secara gratis. Ia adalah salah satu pertunjukan terbaik yang tidak memerlukan tiket masuk, hanya kesabaran setelah hujan.