Surah Ad-Dhuha, surat ke-93 dalam Al-Qur'an, adalah sebuah penyejuk hati yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada saat beliau mengalami masa-masa sulit dan jeda wahyu. Di tengah kegundahan yang sempat menyelimuti beliau, Allah SWT menurunkan ayat-ayat yang penuh kepastian dan janji manis. Salah satu ayat kunci dalam surat ini adalah **Surah Ad Dhuha Ayat 4**: "وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى" (Walal-ākhiratu khairul laka minal-ūlā).
Dan sungguh, hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang pertama.
Ayat ini adalah janji ilahi yang sangat kuat. Kata "Akhirat" (الْآخِرَةُ) di sini tidak hanya merujuk pada kehidupan setelah kematian, tetapi juga mencakup fase kehidupan Nabi Muhammad SAW setelah periode kesulitan tersebut. Pada saat ayat ini diturunkan, Nabi SAW merasa khawatir bahwa wahyu telah terputus, yang oleh sebagian orang kafir Makkah disinyalir bahwa Tuhan telah meninggalkan beliau. Ayat 1 hingga 3 telah menegaskan bahwa Allah tidak meninggalkan dan tidak membenci beliau. Kemudian, ayat keempat ini memberikan konfirmasi pamungkas: kesuksesan, kemuliaan, dan pahala yang akan Allah berikan di masa depan (baik di dunia maupun akhirat) jauh melampaui penderitaan sementara yang beliau alami di awal risalahnya.
Dalam konteks historis, "yang pertama" (الأُولَى) merujuk pada periode awal kenabian yang penuh tantangan, penolakan, dan kesendirian. Sementara "yang kemudian" (الْآخِرَةُ) menjanjikan kemenangan Islam, penaklukan Makkah, kedamaian, dan yang paling utama, keridhaan Allah dan surga-Nya. Janji ini berlaku universal bagi setiap Muslim. Ketika kita menghadapi kesulitan, kegagalan, atau rasa putus asa dalam menjalani ketaatan, ayat ini menjadi pengingat bahwa kesabaran dan keteguhan hati hari ini akan dibalas dengan keuntungan yang tak terhingga di kemudian hari.
Secara psikologis, Surah Ad Dhuha, khususnya ayat keempat ini, berfungsi sebagai terapi iman. Ia menanamkan optimisme yang berbasis wahyu. Manusia cenderung mudah terpuruk oleh masa kini yang terasa berat. Ayat ini mengajarkan perspektif jangka panjang. Ia menggeser fokus dari penderitaan sesaat menuju tujuan akhir yang mulia. Ini mengajarkan bahwa ujian hidup adalah bagian dari proses pemurnian; seperti emas yang harus melalui api untuk menjadi murni, seorang mukmin pun harus melalui cobaan untuk mencapai derajat yang lebih tinggi di sisi Allah.
Lebih jauh lagi, pemahaman bahwa 'akhirat' lebih baik dari 'dunia' (termasuk fase sulit di awal kenabian) menegaskan bahwa nilai sejati sebuah peristiwa tidak diukur dari kemewahan duniawi yang diraih, melainkan dari kedekatan abadi dengan Sang Pencipta. Jika seorang Nabi yang kekasih Allah pun dijamin akhir yang lebih baik setelah kesulitan, maka umatnya seharusnya tidak berkecil hati saat mengalami tribulasi. Kualitas sebuah kehidupan diukur dari hasilnya di hadapan Allah, bukan dari sensasi kenyamanan sesaat di dunia.
Ayat ini mendorong umat Islam untuk berjuang tanpa henti dalam kebaikan. Ketika usaha dakwah terasa stagnan, ketika ibadah terasa berat, atau ketika musibah bertubi-tubi datang, kita harus mengingat janji ini. Ini bukan undangan untuk berdiam diri, tetapi sebuah motivasi untuk terus berjalan di jalan kebenaran dengan keyakinan penuh bahwa setiap langkah kesabaran dan ketekunan akan tercatat sebagai investasi untuk kehidupan yang jauh lebih baik.
Dengan merenungkan Surah Ad Dhuha ayat 4, seorang Muslim diingatkan untuk selalu menjaga harapannya tetap tinggi dan menjaga kualitas amalnya. Segala sesuatu yang kita korbankan di dunia demi ketaatan kepada Allah SWT akan diganti dengan sesuatu yang jauh lebih substansial dan kekal. Masa depan yang dijanjikan Allah SWT adalah masa depan yang penuh dengan ketenangan, keridhaan, dan kenikmatan abadi, sebuah realitas yang tak tertandingi oleh kemuliaan sesaat mana pun di masa lalu atau masa kini. Oleh karena itu, mari kita hadapi tantangan hari ini dengan dada lapang, karena janji Allah pasti berlaku: "Sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang pertama."