Terjemahan: "Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka dapat menjadikan hamba-hamba-Ku sebagai pelindung selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir."
Surah Al-Kahfi, yang berarti "Gua", adalah salah satu surat penting dalam Al-Qur'an yang sarat dengan pelajaran tentang iman, cobaan, dan kesesatan duniawi. Ayat 102 ini muncul pada penutup kisah-kisah besar dalam surat tersebut, memberikan penekanan yang kuat mengenai hakikat sejati dari pertolongan dan pemujaan.
Ayat ini secara langsung menanggapi anggapan keliru atau kesombongan orang-orang yang menolak risalah tauhid. Pertanyaan retoris: "Maka apakah orang-orang kafir menyangka..." bertujuan untuk mengguncang keyakinan mereka yang dangkal. Mereka yang mengingkari keesaan Allah SWT seringkali mencari 'pelindung' atau 'wali' lain—berupa berhala, tokoh-tokoh yang diagungkan, atau kekuatan duniawi—untuk menopang eksistensi dan keselamatan mereka.
Konsep "wali" di sini sangat penting. Wali adalah penolong, pelindung, dan pihak yang diserahi urusan. Ketika seseorang menjadikan selain Allah sebagai wali, ia telah melakukan penentuan nasib yang seharusnya hanya menjadi hak prerogatif Sang Pencipta. Ayat ini menegaskan bahwa anggapan ini adalah khayalan belaka. Tidak ada satu pun entitas selain Allah yang memiliki kuasa untuk melindungi mereka dari azab-Nya.
Setelah menolak anggapan batil mereka, Allah SWT menutup ayat dengan sebuah kepastian yang tegas: "Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir." Kata "menyediakan" (أَعْتَدْنَا) mengindikasikan bahwa Jahannam bukanlah hasil kebetulan, melainkan sebuah konsekuensi yang telah disiapkan dan diatur berdasarkan keputusan Allah atas perbuatan mereka yang memilih jalan kekafiran dan menyekutukan-Nya.
Kata "Nuzulan" (نُزُلًا) yang berarti tempat tinggal atau penginapan memberikan gambaran ironis. Penginapan biasanya diasosiasikan dengan kenyamanan atau tempat peristirahatan setelah perjalanan panjang. Namun, tempat tinggal yang disediakan bagi orang kafir adalah api yang menyala-nyala. Ini menekankan bahwa kekafiran adalah pilihan aktif yang berujung pada konsekuensi permanen yang mengerikan.
Meskipun ayat ini ditujukan kepada orang-orang kafir di masa lampau, pelajaran yang terkandung di dalamnya relevan bagi setiap mukmin. Ayat 102 mengingatkan kita tentang bahaya syirik dan pentingnya konsistensi dalam memegang prinsip tauhid. Setiap kali kita menghadapi kesulitan, godaan kekayaan, atau tekanan sosial, kita harus kembali mengingat bahwa satu-satunya pelindung sejati adalah Allah SWT.
Kisah-kisah dalam Al-Kahfi—pemuda Ashabul Kahfi, pemilik kebun yang sombong, Nabi Musa dan Khidr, serta Dzulqarnain—semuanya bertujuan menguatkan hati bahwa dunia adalah ujian fana, dan kesudahan akhir hanya bergantung pada kualitas iman dan amal kita di hadapan Allah. Mereka yang mencari perlindungan duniawi atau menjadikan selain Allah sebagai sandaran utama, akan mendapati diri mereka kecewa di hadapan azab-Nya.
Oleh karena itu, Surah Al-Kahfi ayat 102 berfungsi sebagai pengingat fundamental: keutamaan dan kekuasaan hanya milik Allah. Upaya mencari 'wali' lain selain Dia adalah kesia-siaan yang akan berujung pada tempat kembali yang telah disiapkan bagi para pembangkang, yaitu neraka yang penuh dengan siksaan abadi. Penghayatan ayat ini mendorong seorang mukmin untuk selalu mengarahkan harap dan cintanya hanya kepada Sang Pencipta semesta alam.
Meskipun fokus kita adalah ayat 102, penting untuk diingat bahwa membaca keseluruhan Surah Al-Kahfi memiliki keutamaan yang besar, terutama dalam menghadapi fitnah dunia. Rasulullah SAW bersabda bahwa membaca surat ini memberikan cahaya (nur) dan perlindungan dari fitnah Dajjal. Ayat-ayat seperti 102 ini memperkuat benteng keimanan kita, memastikan bahwa kita tidak terjerumus dalam kesesatan mencari pelindung selain Allah, yang merupakan inti dari fitnah terbesar.
Dengan memahami konteks ayat ini, pembacaan harian atau mingguan Al-Kahfi menjadi lebih bermakna, bukan sekadar ritual, melainkan sebuah perenungan mendalam tentang konsekuensi pilihan hidup yang kita ambil.