Surah Al-Kahfi (Gua) adalah salah satu permata dalam Al-Qur'an yang kaya akan pelajaran tentang ujian kehidupan, kesabaran, dan hakikat kekuasaan Allah SWT. Dua ayat penutupnya, yaitu ayat 106 hingga 110, menjadi penutup yang kuat, mengingatkan manusia tentang tujuan akhir mereka dan bahaya dari kesombongan terhadap wahyu ilahi.
وَمَنْ يَقُلْ لَنْ يَتَّخِذَ رَبُّنَا أَحَدًا
"Dan orang-orang yang berkata, 'Tuhan kami tidak akan pernah menjadikan seorang pun sebagai sekutu-Nya (sebagai anak-Nya atau sebagai persekutuan yang setara).'"Ayat 106 ini sering dibaca bersamaan dengan ayat-ayat sebelumnya yang membahas orang-orang yang menganggap bahwa kehidupan duniawi yang mereka nikmati—kekayaan, keturunan, atau kekuasaan—adalah bukti keridhaan mutlak dari Allah. Ayat 106 menegaskan keyakinan tauhid yang benar: bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah dan tidak memiliki sekutu.
Namun, konteks ayat ini lebih dalam. Ayat sebelum 106 berbicara tentang orang yang berkata bahwa harta dan anak-anak yang mereka miliki akan menyelamatkan mereka di akhirat. Ayat 106 adalah pernyataan tegas mengenai ketauhidan yang murni. Allah mengingatkan bahwa meskipun seseorang memiliki keyakinan yang tampak benar (tauhid), jika keyakinan tersebut tidak dibarengi dengan amal saleh dan kesadaran akan kebesaran akhirat, maka perkataan mereka tidak akan berarti apa-apa jika mereka tetap berpaling dari kebenaran yang dibawa oleh para rasul.
Bagi kita, ayat ini adalah pelajaran tentang bahaya kesombongan intelektual atau kesombongan spiritual. Seseorang mungkin meyakini keesaan Allah, namun jika ia menyangka bahwa amal duniawi atau status sosialnya akan otomatis menjamin surga tanpa keikhlasan, ia telah salah memahami esensi ajaran. Ketauhidan harus tercermin dalam ketundukan total kepada perintah-Nya, bukan sekadar pengakuan lisan.
Ayat pamungkas Surah Al-Kahfi ini merupakan kesimpulan agung yang membatasi pengetahuan manusia dan menekankan urgensi amal berbasis wahyu:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan tidak mempersekutukan seorang pun dalam ibadah kepada Tuhannya.'"Ayat 106 berbicara tentang pengakuan lisan akan tauhid murni, sementara ayat 110 memberikan resep praktis bagaimana mewujudkan tauhid tersebut dalam kehidupan nyata. Jika ayat 106 menegur bahaya menyangka harta dunia sebagai tiket keselamatan, ayat 110 memberikan solusi: fokus pada amal saleh dan keikhlasan yang sejati.
Kekayaan dan anak-anak yang disebutkan di awal surah—seperti ujian pada Ashabul Kahfi (ujian iman), pemilik kebun (ujian harta), dan Dzul Qarnain (ujian kekuasaan)—semuanya berakhir jika dunia ini usai. Yang kekal hanyalah catatan amal yang didasari keikhlasan total kepada Allah Yang Maha Esa.
Surah Al-Kahfi menutup dengan sebuah peringatan keras namun penuh harapan: kesuksesan sejati tidak diukur dari berapa lama kita hidup di dunia atau seberapa besar warisan yang kita tinggalkan, melainkan seberapa baik kita mempersiapkan diri untuk perjumpaan abadi dengan Pencipta kita. Ini menuntut kita untuk terus introspeksi, memastikan bahwa setiap langkah dan niat kita terlepas dari persekutuan sekecil apa pun dengan kehendak selain kehendak-Nya.
Dengan memahami dan mengamalkan dua ayat penutup ini, seorang Muslim diingatkan bahwa perjalanan hidup adalah persiapan menuju akhirat. Keberhasilan bukanlah ketika kita mampu membangun menara tinggi di dunia, melainkan ketika kita mampu menjaga hati agar selalu tunduk pada keesaan Allah, dalam setiap amal yang kita lakukan.