Surah Al-Kahfi (Gua) adalah salah satu surah penting dalam Al-Qur'an yang sarat dengan pelajaran hidup, terutama terkait dengan ujian iman, harta, ilmu, dan kekuasaan. Bagian akhir dari kisah-kisah utama dalam surah ini, khususnya ayat 54 hingga 61, menyoroti bagaimana manusia cenderung menyalahgunakan nikmat duniawi dan pentingnya menyadari batasan antara dunia dan akhirat.
Ayat-ayat ini berfungsi sebagai teguran lembut namun tegas dari Allah SWT mengenai karakter manusia yang sering kali lupa diri ketika diberi kemudahan. Mereka cenderung menyombongkan diri dengan harta dan kedudukan, bahkan melupakan ayat-ayat peringatan yang telah diturunkan.
Ilustrasi Keseimbangan antara urusan dunia dan amal akhirat.
Ayat 54: "Dan sungguh Kami telah menerangkan kepada manusia dalam Al-Qur'an ini bermacam-macam perumpamaan; maka manusia adalah yang paling banyak berdebat." (QS. Al-Kahfi: 54)
Ayat ini menegaskan bahwa Allah telah memberikan penjelasan yang sangat gamblang melalui Al-Qur'an, menggunakan berbagai perumpamaan agar mudah dipahami. Ironisnya, manusia justru paling banyak membantah dan memperdebatkan kebenaran tersebut.
Ayat 55: "Dan tidak ada yang menghalangi manusia untuk beriman ketika petunjuk itu datang kepada mereka dan (menghalangi mereka untuk) memohon ampunan kepada Tuhan mereka, melainkan berlakunya ketetapan yang telah lalu atau datangnya azab di hadapan mereka." (QS. Al-Kahfi: 55)
Alasan utama penolakan iman bukanlah karena kurangnya bukti, melainkan karena kesombongan, keras kepala, atau karena sudah terlambat (ketika azab telah tampak).
Ayat 56: "Dan Kami tidak mengutus para rasul itu melainkan sebagai pemberi berita gembira dan pemberi peringatan. Orang-orang yang kafir mendebat (Allah) dengan (menggunakan) kebatilan, untuk melenyapkan kebenaran dengan (dalil) itu. Dan mereka menjadikan ayat-ayat Kami dan peringatan yang diberikan kepada mereka sebagai olok-olok." (QS. Al-Kahfi: 56)
Fungsi nabi jelas: membawa kabar baik bagi yang taat dan peringatan bagi yang ingkar. Namun, kaum kafir memilih jalur perdebatan sia-sia untuk menyingkirkan kebenaran.
Ayat 57: "Siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, lalu ia berpaling daripadanya dan melupakan apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan penghalang di atas hati mereka sehingga mereka tidak memahaminya, dan Kami jadikan pada telinga mereka kesumbatan. Dan jika kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk (untuk mendapatkannya) selama-lamanya." (QS. Al-Kahfi: 57)
Ini adalah puncak teguran. Durjaka terbesar adalah mereka yang telah menerima peringatan ilahi, namun memilih berpaling karena keangkuhan duniawi. Hati mereka tertutup rapat.
Ayat 58: "Dan Tuhanmu Maha Pengampun, penuh rahmat. Sekiranya Dia menghukum mereka disebabkan apa yang telah mereka perbuat, pasti Dia akan menyegerakan siksa bagi mereka. Tetapi mereka mempunyai waktu yang ditentukan (untuk diazab) yang mereka tidak akan mendapati tempat berlindung selain dari-Nya." (QS. Al-Kahfi: 58)
Meskipun demikian, Allah Maha Pengampun dan penuh rahmat. Penundaan azab bukanlah berarti Allah lalai, melainkan karena rahmat-Nya memberikan kesempatan tobat hingga batas waktu yang telah ditetapkan-Nya.
Ayat 59: "Dan (penduduk) negeri-negeri itu, ketika mereka telah binasa, telah Kami binasakan (disebabkan kezaliman mereka), dan Kami telah menetapkan suatu batas waktu untuk kebinasaan mereka." (QS. Al-Kahfi: 59)
Ayat ini merujuk pada kisah-kisah umat terdahulu yang dibinasakan karena kezaliman mereka, seperti kaum 'Aad dan Tsamud. Kehancuran mereka bukanlah tanpa sebab, tetapi karena pelanggaran batas yang telah ditetapkan Allah.
Ayat 60: "Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: 'Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum aku mencapai pertemuan dua laut; atau aku akan berjalan terus selama bertahun-tahun.'" (QS. Al-Kahfi: 60)
Ayat ini mengawali kisah perjalanan Nabi Musa AS bersama muridnya (yang sering diidentifikasi sebagai Yusya' bin Nun atau Khidir, tergantung tafsir) menuju majma'ul bahrain (pertemuan dua lautan). Perjalanan ini menunjukkan tingginya tekad dalam menuntut ilmu, sebuah kontras tajam dengan sifat orang yang malas mencari kebenaran dalam ayat-ayat sebelumnya.
Ayat 61: "Maka tatkala mereka sampai di pertemuan (dua laut) itu, mereka melupakan ikan mereka, lalu ikan itu melompat ke laut dengan cara yang aneh." (QS. Al-Kahfi: 61)
Kelupaan yang terjadi saat mencapai tujuan ilmu tersebut menjadi titik balik dalam narasi. Kelupaan yang tampaknya kecil ini (melupakan bekal ikan) ternyata menjadi pertanda akan pertemuan dengan sosok yang memiliki ilmu ladunni (ilmu langsung dari Allah), yaitu Nabi Khidir AS.
Bagian ini mengajarkan bahwa kemudahan dunia, baik itu berupa kekayaan, kekuasaan, atau ilmu yang dangkal, seringkali menjadi ujian terbesar. Manusia cenderung sombong dan menolak kebenaran ketika berada di puncak kemudahan. Allah memberikan peringatan keras melalui kisah-kisah umat terdahulu yang binasa karena kezaliman.
Kontras antara sifat orang yang menolak petunjuk dengan keteguhan Nabi Musa dalam mencari ilmu menunjukkan bahwa pencarian kebenaran membutuhkan kesungguhan dan pengorbanan. Kelupaan sekecil apa pun dalam perjalanan mencari ilmu yang hakiki dapat membawa konsekuensi yang tak terduga, bahkan menjadi penanda pertemuan dengan hikmah yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, kita wajib merenungkan ayat-ayat ini sebagai introspeksi diri agar tidak termasuk dalam golongan yang banyak berdebat menolak petunjuk, melainkan termasuk golongan yang rendah hati dalam menerima kebenaran dan gigih dalam menuntut ilmu yang bermanfaat untuk akhirat.