Kisah Musa dan Khidir: Pelajaran dari Al-Kahfi Ayat 62 dan 74

Ilustrasi Simbolis Perjalanan Mencari Ilmu Sebuah gambar abstrak yang mewakili perjalanan panjang, di mana dua figur bertemu di persimpangan jalan, melambangkan Musa dan Khidir. M K

Kisah Nabi Musa AS dan Khidir AS yang tercantum dalam Surah Al-Kahfi adalah salah satu narasi paling mendalam dalam Al-Qur'an. Kisah ini menjadi penegasan bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas dibandingkan dengan pengetahuan ilahi yang dimiliki oleh Allah SWT dan diwahyukan kepada hamba-Nya yang terpilih, yaitu Khidir. Bagian krusial dari perjalanan ini seringkali disoroti melalui dialog dan peristiwa yang terjadi di antara mereka, terutama yang tercermin dalam ayat 62 hingga 74.

Konteks Ayat 62: Keterbatasan Pengetahuan Musa

Setelah Musa dan pengikutnya kelelahan dalam perjalanan mencari Khidir, mereka sampai di tempat pertemuan. Peristiwa penting ini dicatat dalam Al-Qur'an sebagai momen ketika Musa menyadari batas pengetahuannya.

فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَا رَبَّنَا آتِنَا نَغْذَا مِنْ سَفَرِنَا هَٰذَا فَزَالُوا وَأَضَلُّوا سَبِيلَهُمُ

"Maka tatkala mereka telah melampaui (tempat pertemuan itu), Musa berkata kepada muridnya: 'Berikanlah makan siang kita sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.' Berkatalah (Khidir): 'Tahukah kamu, tatkala kita mencari tempat istirahat tadi, sesungguhnya kita telah tertimpa keletihan?'" (QS. Al-Kahfi: 62 - Terjemahan sebagian)

Ayat ini menunjukkan bagaimana Musa, meskipun seorang nabi yang besar, merasakan keterbatasan fisik dan juga keterbatasan dalam merencanakan perjalanan. Ia mengeluh kelelahan dan lapar. Khidir kemudian mengingatkan Musa dengan lembut bahwa keletihan yang dirasakan Musa adalah hal yang wajar, namun di balik itu, ada pelajaran yang lebih besar yang harus dipahami mengenai keterbatasan perspektif manusia. Musa fokus pada kebutuhan duniawi saat itu, sementara Khidir memandang gambaran besar dari perjalanan tersebut.

Menuju Peristiwa Puncak: Ayat 74

Setelah serangkaian peristiwa yang penuh misteri—mulai dari melubangi perahu, membunuh seorang anak laki-laki, hingga memperbaiki dinding yang hampir roboh—Musa akhirnya tidak mampu lagi menahan diri untuk tidak bertanya lebih lanjut kepada Khidir. Puncak dari ketidaksabaran Musa ini dijelaskan pada ayat-ayat berikutnya, yang berpuncak pada ayat 74, di mana Khidir memutuskan untuk mengakhiri persekutuan mereka karena Musa telah terbukti belum mampu bersabar atas apa yang tidak ia pahami.

فَانْطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنْقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا

"Maka berjalanlah keduanya sehingga tatkala mereka sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta makanan kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu enggan menjamu mereka, kemudian keduanya menemukan di negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, lalu Khidir menegakkan dinding itu. Musa berkata: 'Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk perbuatan itu.'" (QS. Al-Kahfi: 77 - Terjemahan sebagian untuk konteks, fokus utama pada ayat 74 yang mendahuluinya yang merupakan akhir perpisahan).

Pelajaran Tentang Kesabaran dan Ilmu

Kisah Musa dan Khidir dalam rentang ayat 62 hingga 74 (dan seterusnya) mengajarkan bahwa kesabaran adalah kunci dalam menghadapi hal-hal yang di luar nalar atau pemahaman kita. Musa, meskipun seorang rasul, gagal karena ia menilai segala sesuatu berdasarkan ilmu yang ia miliki saat itu. Ia melihat tindakan Khidir sebagai sesuatu yang tidak logis (melubangi perahu, membunuh anak, memperbaiki tanpa bayaran).

Sebaliknya, Khidir bertindak berdasarkan ilmu laduni—ilmu langsung dari Allah SWT—yang melampaui akal sehat manusia biasa. Perjalanan ini adalah ujian kesabaran bagi Musa. Ia harus belajar untuk percaya pada hikmah di balik setiap kejadian, meskipun penampakannya buruk atau tidak masuk akal. Kegagalan Musa untuk bersabar dan terus bertanya sebelum waktunya tiba adalah alasan perpisahan mereka.

Intinya, ayat-ayat ini mengingatkan kita bahwa seringkali, apa yang tampak sebagai kerugian atau kesalahan di permukaan, sejatinya adalah bagian dari rencana besar yang mengandung kebaikan tersembunyi. Memahami hal ini membutuhkan kerendahan hati untuk mengakui keterbatasan ilmu kita dan kesabaran untuk menunggu penjelasan ilahi.

🏠 Homepage