Surah Al-Kahfi, yang menjadi bacaan utama umat Islam di hari Jumat, menyimpan banyak sekali pelajaran berharga. Salah satu segmen yang kaya akan hikmah adalah rentang ayat 81 hingga 90. Bagian ini secara khusus menceritakan kisah Musa dan Khidr, sebuah narasi mendalam tentang pencarian ilmu, keterbatasan pemahaman manusia, dan keadilan ilahi yang seringkali tersembunyi di balik peristiwa yang tampak buruk.
Ayat-ayat ini mengajarkan kita bahwa ada pengetahuan yang hanya dapat diakses melalui bimbingan langsung dari Allah dan para ulama yang diizinkan-Nya. Berikut adalah perenungan mendalam terhadap ayat-ayat penting tersebut.
"Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut; dan aku bermaksud (melakukan kerusakan padanya) karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu (yang baik) dengan paksa." (QS. Al-Kahfi: 81)
Kisah ini dimulai dengan perbuatan aneh Khidr merusak perahu. Musa menganggapnya sebagai kejahatan, namun Khidr menjelaskan bahwa tindakan itu adalah bentuk perlindungan. Perahu itu adalah satu-satunya aset bagi para pemiliknya yang fakir. Jika perahu itu sempurna, seorang raja zalim akan mengambilnya. Dengan merusaknya sedikit, perahu itu luput dari perampasan.
Pelajaran pertama di sini adalah pentingnya melihat jauh ke depan. Apa yang tampak sebagai kerugian atau kerusakan di permukaan, bisa jadi merupakan rahmat tersembunyi yang melindungi dari kerugian yang lebih besar di masa depan. Ini membutuhkan perspektif ilmu yang lebih luas, yakni ilmu ladunni (ilmu dari sisi Allah) yang dimiliki Khidr.
"Adapun anak itu, kedua orang tuanya adalah orang-orang yang beriman, dan kami khawatir bahwa dia akan membebani mereka (dengan durhaka dan kekafiran), maka kami menghendaki Tuhan mereka menggantinya dengan anak yang lebih baik kesalehannya dan lebih dekat kasih sayangnya." (QS. Al-Kahfi: 82)
Ini adalah inti kedua dari ujian kesabaran. Kematian seorang anak yang tampak tidak adil bagi orang tua beriman, ternyata adalah pemeliharaan ilahi. Khidr menjelaskan bahwa anak tersebut ditakdirkan menjadi penyebab kesesatan dan penderitaan orang tuanya kelak.
Ayat ini mengajarkan tentang keadilan mutlak Allah. Meskipun hati orang tua hancur, Allah telah menetapkan pengganti yang lebih baik, baik dari segi hubungan vertikal (kesalehan) maupun horizontal (kasih sayang). Kesabaran dalam menghadapi kehilangan besar adalah jalan menuju pahala pengganti yang lebih agung.
"Adapun dinding itu adalah milik dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada simpanan (harta karun) bagi mereka berdua, dan ayahnya adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar mereka berdua mencapai usia dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan aku tidak melakukannya atas kemauanku sendiri..." (QS. Al-Kahfi: 84)
Ayat ini menyoroti pentingnya menjaga amanah, khususnya amanah untuk anak yatim. Ayah mereka yang saleh telah menanamkan kebaikan, dan Allah menjaga harta itu melalui dinding yang hampir roboh. Khidr memperbaiki dinding tersebut, bukan karena keahliannya, melainkan karena kehendak Tuhan agar anak yatim itu kelak dapat memanfaatkan harta warisan mereka.
Pesan utama ayat 83-84 adalah bahwa amal saleh orang tua akan menjadi pelindung bagi keturunannya. Dinding yang runtuh melambangkan kerapuhan duniawi, namun di balik kerapuhan itu tersimpan janji perlindungan dan rezeki yang dijaga oleh Allah. Ini menguatkan keyakinan bahwa kesalehan adalah investasi abadi, baik bagi diri sendiri maupun bagi generasi penerus.
Setelah menyaksikan tiga peristiwa yang kontras (kerusakan demi kebaikan, kematian demi kesalehan, dan perbaikan demi warisan), Musa akhirnya mengakui keterbatasannya (Ayat 75). Ketika Khidr siap berpisah, ia menegaskan batasan ilmunya sendiri, yang juga merupakan cerminan batasan ilmu manusia secara umum.
"Katakanlah (Musa): 'Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertainya lagi; sesungguhnya kamu telah menerima uzur (alasan) dariku.'" (QS. Al-Kahfi: 77 - Merujuk pada janji Musa)
Khidr kemudian menekankan bahwa semua tindakannya adalah atas izin Allah semata. Ayat 90 secara implisit menunjukkan bahwa setiap perbuatan, sekecil apapun, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta.
Rangkaian ayat 81-90 Surah Al-Kahfi adalah sebuah modul pendidikan spiritual yang mengajarkan kita untuk tunduk pada kehendak Ilahi, memahami bahwa pengetahuan manusia terbatas, dan bahwa di balik setiap peristiwa—baik yang tampak baik maupun buruk—tersembunyi kebijaksanaan, rahmat, dan keadilan Allah yang Maha Luas.