Fokus Surah Al-Kahfi Ayat 85

Pengantar Ayat Penuh Hikmah

Surah Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, dikenal luas karena mengandung empat kisah utama yang sarat pelajaran spiritual dan panduan hidup. Salah satu ayat kunci dalam surat ini, yang sering menjadi perenungan mendalam, adalah Ayat 85. Ayat ini berbicara tentang salah satu pemilik dua kebun yang diuji oleh Allah SWT, sebuah kisah yang menawarkan perspektif tentang kekayaan, kesombongan, dan ketergantungan sejati kepada Tuhan.

Ilustrasi Dua Kebun dan Matahari Visualisasi sederhana tentang dua lanskap berbeda, dihiasi dengan representasi matahari yang sedang terbit atau terbenam, melambangkan perubahan nasib.

Ilustrasi perjalanan hidup dan kekayaan duniawi.

Teks Surah Al-Kahfi Ayat 85

Ayat ini adalah bagian dari dialog antara Sang Pemilik Dua Kebun dengan temannya yang beriman.

وَاِذْ قَالَ لِصَاحِبِهٖ وَهُوَ يُحَاوِرُهُۥٓ أَكْفَرْتُ بِٱلَّذِى خَلَقَكَ مِن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّىٰكَ رَجُلًا

(85) Dan dia berkata kepada temannya sambil berbincang-bincang dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?"

Makna dan Konteks Ayat 85

Ayat 85 ini menyoroti puncak kesombongan pemilik kebun yang kaya raya. Setelah didakwahi oleh temannya yang beriman (yang kemungkinan adalah Khidir, meskipun banyak tafsir menyebutkan bahwa ini adalah penggalan dialog yang terpisah dari kisah Ashabul Kahfi), pemilik kebun tersebut menanggapi dengan nada merendahkan.

1. Pertanyaan Retoris Penuh Ironi

Kalimat "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah..." adalah sebuah sindiran tajam. Pemilik kebun itu seolah berkata, "Bagaimana mungkin kamu tidak percaya pada kekuasaan-Nya, padahal Dia telah melakukan hal yang luar biasa atas dirimu?" Ironisnya, meskipun ia mengakui kebesaran Pencipta dalam penciptaan manusia, pengakuannya ini tidak diikuti oleh ketundukan dan rasa syukur. Ia justru menggunakan pengakuan ini sebagai alat untuk menolak nasihat temannya agar bersyukur atas nikmat kebunnya.

2. Urutan Penciptaan: Bukti Kekuasaan Allah

Ayat ini secara ringkas merangkum tiga tahapan fundamental dalam penciptaan manusia, yang seringkali menjadi argumen utama dalam tauhid:

Bagi pemilik kebun, urutan ini seharusnya menjadi bukti mutlak bahwa Tuhan yang mampu melakukan hal serumit ini pasti Maha Kuasa atas segala hal, termasuk rezekinya. Namun, ia gagal memahami bahwa yang mengatur nasib akhir lebih mudah daripada mengatur permulaan.

3. Bahaya Nasihat yang Tidak Diikuti Iman

Kisah ini mengajarkan bahwa pengakuan intelektual terhadap kebenaran (bahwa Allah adalah Pencipta) tidak otomatis menghasilkan kepatuhan dan keikhlasan dalam hati. Pemilik kebun tersebut memiliki pengetahuan teologis dasar, tetapi kekayaannya telah membutakan hatinya dari rasa syukur yang sejati dan ketakutan akan Hari Pembalasan. Ia terlalu fokus pada aset duniawinya sehingga lupa pada Pemilik Aset yang sesungguhnya.

Pelajaran Penting dari Ayat 85

Ayat Al-Kahfi ke-85 ini berfungsi sebagai pengingat abadi. Setiap kali kita menikmati karunia Allah—baik itu kesehatan, kecerdasan, atau rezeki—kita harus merenungkan asal mula kita. Kita diciptakan dari sesuatu yang sangat sederhana (tanah dan mani), dan kemudian disempurnakan. Kesenjangan antara asal kita yang rendah dan kesempurnaan fisik serta akal yang kita miliki hari ini adalah manifestasi langsung dari kekuasaan Ilahi.

Ketika kita diuji dengan kemakmuran, seperti yang dialami oleh tokoh dalam kisah ini, kita harus memastikan bahwa kemakmuran itu tidak membuat kita lupa diri atau sombong. Kita harus selalu mengaitkan setiap keberhasilan duniawi kembali kepada Sang Sumber Pemberi, yaitu Allah SWT. Jika tidak, pengakuan kita atas kuasa-Nya dalam penciptaan hanyalah kata-kata kosong yang tidak menyelamatkan kita dari kesombongan yang pada akhirnya menghancurkan nikmat duniawi tersebut, sebagaimana nasib yang menimpa pemilik dua kebun itu di ayat-ayat selanjutnya.

Memahami ayat ini mendorong kita untuk hidup dalam kerendahan hati yang seimbang: menghargai nikmat yang ada sambil selalu waspada terhadap jebakan kesombongan yang muncul ketika kesuksesan duniawi datang bertubi-tubi.

🏠 Homepage