Surah Al-Fatihah, yang sering disebut sebagai Ummul Kitab (Induk Al-Qur'an) dan As-Sab'ul Matsani (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), adalah pondasi spiritual setiap Muslim. Ayat ketiga dari surah agung ini, "Māliki Yawmid-Dīn," membawa muatan teologis yang sangat mendalam, yaitu penegasan bahwa Allah adalah pemilik tunggal atas Hari Pembalasan, Hari Kiamat, atau Hari Pertanggungjawaban.
Kata kunci dalam ayat ini adalah "Māliki" (pemilik/penguasa) dan "Yawmid-Dīn" (Hari Agama/Pembalasan). Pengakuan ini bukanlah sekadar pengakuan historis, melainkan sebuah deklarasi iman yang harus menghidupi seluruh tindakan seorang hamba sepanjang hidupnya. Di ayat kedua, kita telah memuji Allah sebagai Rabbil 'Alamin (Tuhan semesta alam) dan Ar-Rahman Ar-Rahim (Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Namun, pada ayat ketiga, sifat rahmat tersebut dibatasi oleh keadilan absolut di akhirat.
Perlu dicatat bahwa dalam beberapa qira'at (cara pembacaan), ayat ini dibaca sebagai "Mālik" (raja, tanpa tanwin yang menunjukkan kepemilikan absolut), sementara yang paling masyhur adalah "Māliki" (pemilik). Meskipun perbedaan ini tampak tipis, para ulama menjelaskan keduanya saling menguatkan. Jika Allah adalah Raja, Dia memiliki hak untuk memerintah. Jika Dia adalah Pemilik, maka segala sesuatu yang ada, termasuk waktu dan manusia, tunduk sepenuhnya di bawah kekuasaan-Nya pada hari penentuan.
Pada hari itu, tidak ada lagi kekuasaan manusia yang berarti. Kekayaan, jabatan, status sosial, bahkan kekuatan fisik akan sirna. Hanya kepemilikan Allah yang bertahan. Pengakuan ini mengajarkan kerendahan hati yang ekstrem. Jika kita menyadari bahwa semua yang kita miliki saat ini hanyalah titipan dan pada satu hari kepemilikan itu akan diserahkan kembali kepada Pemilik aslinya, maka orientasi hidup kita akan berubah total.
Mengapa pengakuan akan kepemilikan Allah atas Hari Pembalasan ditempatkan begitu awal setelah pujian kepada-Nya? Karena kesadaran akan pertanggungjawaban adalah motivator terbesar bagi moralitas dan ketaatan.
Ayat 3 berfungsi sebagai jembatan logis. Setelah memuji keagungan Allah (Ayat 1 dan 2), seorang hamba menyatakan kesadaran bahwa keagungan itu berpuncak pada Hari di mana semua akan dihakimi (Ayat 3). Kesadaran ini kemudian memuncak pada permohonan agar Allah menjadi satu-satunya yang disembah dan dimintai pertolongan (Ayat 4 dan 5). Tanpa mengakui kekuasaan Allah di Hari Pembalasan, permohonan ibadah (Ayat 4) akan menjadi hampa. Mengapa harus memohon kepada-Nya jika kita tidak yakin bahwa Dia memiliki otoritas penuh atas nasib kita?
Oleh karena itu, "Māliki Yawmid-Dīn" adalah pengingat abadi tentang supremasi Allah. Ini adalah janji bahwa tidak ada satu pun tindakan baik atau buruk yang tersembunyi dari pandangan Sang Pemilik Hari Penghakiman. Membaca ayat ini dalam shalat adalah cara kita untuk terus-menerus menyelaraskan visi hidup kita dengan realitas akhirat yang pasti akan datang. Dengan memahami ayat ini, kita tidak hanya membaca teks suci, tetapi kita meneguhkan kembali kontrak kita dengan Sang Pencipta: bahwa segala sesuatu hanya milik-Nya, sekarang dan di Hari Kiamat.