Ilustrasi simbolis kesatuan dan keesaan Tuhan.
Surat Al-Ikhlas, yang merupakan inti dari ajaran tauhid (keesaan Allah), terdiri dari empat ayat pendek yang padat makna. Ayat ketiga adalah penegasan krusial yang membedakan Allah dari seluruh ciptaan-Nya.
Ayat ketiga dari Surat Al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad) adalah respons langsung terhadap berbagai pemahaman sesat atau kurang lengkap tentang hakikat Tuhan yang pernah berkembang di kalangan umat manusia sebelum Islam datang, bahkan di kalangan Bani Israil.
Dalam konteks keyakinan lama, ada konsep bahwa Tuhan memiliki anak, seperti yang diyakini oleh sebagian kaum musyrik Mekah yang menganggap malaikat sebagai putri Allah, atau keyakinan Yahudi yang menganggap Uzair (Ezra) sebagai putra Allah. Ayat ini secara definitif menolak semua klaim tersebut. Allah tidak membutuhkan proses penciptaan seperti makhluk-Nya. Konsep "beranak" dan "diperanakkan" adalah karakteristik yang melekat pada makhluk hidup yang mengalami siklus eksistensi—yaitu, memiliki awal dan akhir, serta membutuhkan reproduksi untuk keberlangsungan jenis.
Penolakan terhadap konsep ini menegaskan kesempurnaan dan kemandirian (As-Shamad) Allah. Jika Allah beranak, itu berarti Dia membutuhkan suatu proses, dan Dia mungkin memiliki keterbatasan atau membutuhkan generasi penerus. Jika Dia diperanakkan, itu berarti Dia memiliki permulaan, yang bertentangan dengan sifat-Nya yang azali (kekal tanpa awal).
Ayat ini sangat penting karena menetapkan batasan ontologis antara Khaliq (Pencipta) dan Makhluk (Ciptaan). Segala sesuatu yang 'dilahirkan' atau 'melahirkan' memiliki keterbatasan spasial dan temporal. Mereka ada dalam waktu dan ruang. Sebaliknya, Allah adalah Al-Wajid (Yang Maha Ada) yang eksistensinya tidak bergantung pada apapun.
Pertama, aspek "Lam Yalid" (Dia tidak beranak). Ini menafikan bahwa Allah memiliki keturunan atau bahwa ada entitas lain yang setara dengan-Nya yang berasal dari-Nya. Ini menolak konsep trinitas (tiga Tuhan) atau adanya dewa-dewa bawahan yang merupakan keturunan dari entitas utama.
Kedua, aspek "Wa Lam Yulad" (Dan tiada pula diperanakkan). Ini menegaskan bahwa Allah tidak memiliki permulaan. Dia bukan hasil dari proses apapun. Dia adalah Al-Awwal (Yang Pertama) yang keberadaannya mendahului segala sesuatu, dan Ia tidak diciptakan oleh siapapun atau apapun.
Inti dari ayat ini adalah penegasan bahwa Allah adalah absolut. Keberadaan-Nya tidak terbagi, tidak terpengaruh oleh keterbatasan biologis, waktu, atau kebutuhan untuk meneruskan eksistensi-Nya melalui keturunan. Pemahaman yang benar tentang surat al ikhlas ayat ke 3 ini memurnikan ibadah kita, memastikan bahwa kita hanya menyembah Zat yang sempurna dan mandiri, bebas dari segala asosiasi ciptaan.
Ketika tiga ayat pertama digabungkan—"Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa, Allah tempat bergantung segala sesuatu (As-Shamad), (Dia) tidak beranak dan tiada pula diperanakkan"—kita mendapatkan definisi tauhid yang paling jernih dalam Islam. Ini adalah pengenalan terhadap Tuhan yang bebas dari segala cacat atau kebutuhan.
Keindahan Al-Ikhlas terletak pada kemudahannya untuk dihafal namun kedalaman maknanya yang menuntut pemikiran mendalam. Ayat ketiga secara spesifik menjadi benteng teologis yang memisahkan keesaan Allah dari pemahaman politeistik atau antropomorfisme (menggambarkan Tuhan dengan sifat-sifat manusiawi).
Memahami bahwa Allah tidak melahirkan dan tidak dilahirkan adalah kunci untuk mencapai ketenangan spiritual. Kita tidak perlu memikirkan bagaimana Tuhan bereproduksi atau siapa yang menciptakan-Nya. Fokus ibadah kita diarahkan sepenuhnya kepada Zat yang keberadaannya mutlak, tunggal, dan sempurna.