Mutiara Hikmah Al-Kahfi: Ayat 61-70

Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah agung dalam Al-Qur'an yang menyimpan banyak pelajaran hidup, terutama tentang ujian, kesabaran, dan kebijaksanaan dalam menghadapi godaan duniawi. Bagian antara ayat 61 hingga 70 menceritakan kelanjutan kisah Musa dengan hamba Allah yang saleh (sering diidentifikasi sebagai Khidr), sebuah episode penuh misteri dan pembelajaran mendalam mengenai ilmu Allah yang meliputi ilmu manusia.

Konteks Pertemuan dan Tantangan Awal (QS. Al-Kahfi: 61-63)

Kisah ini dimulai ketika Nabi Musa a.s. dan pemuda pembantunya, Yusya' bin Nun, mencapai titik di mana mereka kehilangan ikan yang mereka bawa sebagai bekal. Ikan tersebut secara ajaib terlepas dan kembali ke laut. Bagi Musa, ini adalah kehilangan yang nyata, namun bagi pemandu mereka, ini adalah tanda yang telah dijanjikan.

فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَىٰهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا

Maka tatkala mereka telah melampaui tempat yang telah dijanjikan itu, berkatalah Musa kepada muridnya: "Berikanlah kepada kami makanan kami, sesungguhnya kami telah merasa letih karena perjalanan kita ini." (QS. Al-Kahfi: 62)

Musa merasa sangat lelah. Kelelahan fisik ini wajar setelah perjalanan panjang. Namun, jawaban yang diberikan menunjukkan bahwa ujian sebenarnya baru saja dimulai. Musa mengira mereka telah mencapai tujuan, padahal mereka baru mencapai titik permulaan yang ditandai dengan hilangnya ikan tersebut.

Peringatan dan Batasan Ilmu (QS. Al-Kahfi: 64-65)

Ketika Musa mendesak untuk kembali dan mencari petunjuk, pemandu mereka mengingatkannya tentang janji awal. Pemimpin perjalanan tersebut menggarisbawahi bahwa mereka harus mengikuti rencana yang telah ditetapkan Allah, bukan keinginan sesaat manusia.

قَالَ ذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ ۚ فَارْتَدَّا عَلَىٰ آثَارِهِمَا قَصَصًا

Ia (Khidr) berkata: "Itulah yang kita cari!" Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (QS. Al-Kahfi: 64)

Ayat 65 adalah inti dari babak pertama ujian kesabaran Musa: **ilmu laduni**. Ini adalah ilmu yang datang langsung dari sisi Allah, yang tidak dapat dijangkau oleh akal atau usaha manusia biasa.

Titik Pertemuan Ilmu dan Sabar

Ilustrasi: Musa dan muridnya melanjutkan perjalanan setelah tanda terlewat.

Kisah Pelajaran Pertama: Kapal yang Rusak (QS. Al-Kahfi: 66-70)

Setelah melanjutkan perjalanan, mereka bertemu dengan sebuah desa dan bermaksud meminta makanan, tetapi penduduk desa menolak memberikan pertolongan. Di sana, mereka menemukan kapal yang sedang diperbaiki.

Kemudian terjadi peristiwa yang mengejutkan. Pemandu Musa tiba-tiba merusak kapal tersebut dengan mencabut papan dari lambungnya. Musa terkejut dan sangat marah, karena mereka baru saja diselamatkan oleh pemilik kapal itu.

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

Adapun perahu, maka perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut; dan aku bermaksud hendak merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap perahu (yang baik) dengan paksa. (QS. Al-Kahfi: 79)

Musa menuduh pemandunya melakukan kerusakan tanpa alasan yang jelas. Inilah saat pemandu tersebut mulai menjelaskan hikmah di balik tindakannya, sebuah hikmah yang hanya akan terungkap seiring waktu.

Peristiwa ini mengajarkan kita bahwa terkadang, apa yang terlihat sebagai perusakan atau keburukan di mata manusia, sejatinya adalah tindakan perlindungan yang diperintahkan oleh kebijaksanaan Ilahi yang lebih luas. Kerusakan yang dilakukan pada kapal itu sebenarnya adalah sebuah penyelamatan, karena jika kapal itu sempurna, raja zalim akan mengambilnya, meninggalkan pemilik miskin tersebut tanpa mata pencaharian.

Puncak Kesabaran yang Diuji

Ayat 67 hingga 70 secara khusus menyoroti titik lemah Musa: ketidaksabarannya dalam menerima ilmu yang melampaui batas pengetahuannya.

قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا

(Musa) berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati saya seorang yang sabar, dan saya tidak akan menentangmu dalam urusan apapun." (QS. Al-Kahfi: 69)

Musa berjanji untuk bersabar, namun janji tersebut teruji pada kejadian berikutnya. Namun, janji ini sangat penting; ia menunjukkan keinginan hati Musa untuk menahan diri dari menghakimi sebelum waktu yang tepat tiba. Bagian Al-Kahfi 61-70 ini adalah fondasi naratif yang kuat tentang pentingnya Tawadhu’ (rendah hati) dalam menuntut ilmu dan menerima takdir yang tampak tidak logis di permukaan.

🏠 Homepage