Surat Al-Kahfi (Gua) merupakan salah satu surat penting dalam Al-Qur'an yang sarat dengan hikmah dan peringatan ilahiah. Di antara rangkaian ayatnya yang mendalam, Surat Al-Kahfi ayat 111 menempati posisi krusial sebagai penutup naratif utama dan penegasan fundamental tentang sifat Wahyu Allah.
Ayat ini berfungsi sebagai penutup narasi kisah Ashabul Kahfi, Dzulqarnain, dan kisah Nabi Musa bersama Khidir, yang semuanya bertujuan menguji keimanan dan pemahaman manusia tentang kebesaran Allah SWT. Ayat ini adalah kesimpulan akhir yang menekankan kemutlakan keesaan Allah dan bahaya menyekutukan-Nya.
Berikut adalah teks asli ayat dan terjemahannya:
Katakanlah: "Sesungguhnya Aku ini hanyalah seorang manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam ibadah kepada Tuhannya."
Ayat ini mengandung tiga poin utama yang sangat penting bagi setiap Muslim:
Ayat dimulai dengan perintah, "Katakanlah: Sesungguhnya Aku ini hanyalah seorang manusia biasa seperti kamu." Ini adalah penegasan tegas dari Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ untuk menyampaikan realitas statusnya. Beliau adalah manusia, bukan malaikat, bukan dewa, dan tidak memiliki kekuatan supernatural di luar wahyu yang diterimanya. Penekanan ini penting untuk meluruskan akidah, mencegah umatnya dari sikap berlebihan (ghuluw) dalam memuja beliau, dan menegaskan bahwa sumber ajaran adalah wahyu, bukan kehebatan pribadi sang Nabi.
Poin kedua adalah inti dari semua ajaran Islam: "yūḥā ilayya annamā ilāhukum ilāhun wāḥidun" (diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa). Tauhid—keesaan Allah—adalah benang merah yang menghubungkan semua kisah dalam surat Al-Kahfi, mulai dari kesesatan politeisme kaum kafir Makkah hingga kegagalan pemahaman Musa tentang ilmu Allah yang lebih luas (dalam kisah Khidir).
Bagian akhir ayat ini memberikan formula praktis untuk meraih kebahagiaan hakiki di akhirat: "Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam ibadah kepada Tuhannya."
Harapan akan Liqa' Allah (bertemu dan melihat Allah di akhirat) adalah puncak kerinduan orang beriman. Untuk mencapainya, dibutuhkan dua syarat simultan:
Al-Kahfi ayat 111 menutup pembahasan panjang yang mencakup ujian kekayaan (Ashabul Jannah), ujian kekuasaan (Dzulqarnain), dan ujian ilmu (Nabi Musa dan Khidir). Semua ujian tersebut memiliki satu akar masalah: kecenderungan manusia untuk salah memahami realitas, tergoda oleh dunia, atau berbuat syirik secara halus maupun terang-terangan.
Ayat 111 mengembalikan fokus kepada inti permasalahan: Kesadaran bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah, dan keselamatan sejati hanya diraih melalui ketaatan murni kepada-Nya. Dengan demikian, ayat ini menjadi penutup yang sangat kuat, mengingatkan bahwa tujuan akhir hidup bukanlah harta, kekuasaan, atau ilmu duniawi, melainkan keridhaan Allah dan perjumpaan mulia dengan-Nya.
Membaca dan merenungkan makna dari Surat Al-Kahfi ayat 111 memberikan panduan hidup yang jelas: bersikaplah tawadhu' mengakui keterbatasan diri sebagai manusia, teguhkan tauhid sebagai pondasi keyakinan, dan jadikan amal saleh yang ikhlas sebagai bekal utama menuju keabadian.