Representasi visual tentang perbedaan antara kekayaan duniawi dan amal jariyah.
Ayat ke-38 dari Surah Al-Kahfi ini merupakan kelanjutan dari dialog antara penghuni surga (orang beriman yang diuji dengan kekayaan) dengan temannya yang kufur nikmat dan sombong dengan hartanya. Ayat ini menyoroti inti permasalahan utama yang sering melanda manusia: ketergantungan berlebihan pada harta dan ketidakmampuan untuk mengakui bahwa semua nikmat berasal dari Allah SWT.
Ayat ini berfungsi sebagai teguran lembut sekaligus pelajaran penting bagi pemilik kebun yang sombong. Ia mengajarkan bahwa ketika kita menikmati karunia berupa kekayaan, kesehatan, atau keturunan, ungkapan yang seharusnya terucap adalah mengakui sumber kekuasaan sejati.
Bagian pertama ayat ini mengandung dua kalimat zikir yang sangat agung, yang seharusnya diucapkan setiap kali seorang Muslim melihat nikmat yang diberikan Allah kepadanya, baik itu dalam bentuk harta, kebun yang subur, atau keluarga yang harmonis.
Frasa "Mā Shāʼa Llāhu" berarti "Apa yang Allah kehendaki (pasti terjadi)". Ini adalah bentuk penyerahan diri total. Pemilik kebun seharusnya menyadari bahwa keberhasilan dan kekayaan yang ia nikmati bukanlah semata-mata hasil usaha kerasnya semata, melainkan karena izin dan kehendak Allah. Jika Allah tidak menghendaki, sehebat apa pun usahanya, hasilnya tidak akan terwujud.
Kalimat "Lā Qūwata Illā Billāh" berarti "Tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah". Ini adalah penegasan Tauhid al-Af'al (keesaan dalam perbuatan). Semua daya, upaya, dan kekuatan fisik maupun spiritual yang digunakan untuk meraih kekayaan atau mempertahankan kehidupan, hakikatnya bersumber dari Allah semata. Dalam konteks ini, ayat tersebut mengingatkan bahwa meskipun ia merasa kuat karena hartanya, kekuatan sejatinya untuk menikmati atau mempertahankan semua itu tetap bergantung pada Allah.
Ayat 38 diakhiri dengan sebuah perbandingan yang tajam antara apa yang dipandang oleh si pemilik kebun sebagai superioritasnya ("Sekalipun kamu melihatku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan anak").
Orang yang beriman (yang diingatkan) seolah-olah berkata kepada temannya yang kufur: "Memang benar, saat ini engkau melihat hartamu lebih banyak dariku, dan anak-anakmu lebih banyak. Namun, jangan sampai kelebihan duniawi sesaat ini membutakanmu dari hakikat kehidupan yang kekal."
Peringatan ini sangat relevan hingga kini. Banyak orang jatuh dalam jebakan kesombongan materialistik, lupa bahwa harta dan keturunan hanyalah ujian. Ayat ini mengajarkan bahwa pandangan seorang Mukmin harus melampaui hitungan duniawi. Keberkahan dan kualitas amal di sisi Allah jauh lebih bernilai daripada kuantitas harta di dunia yang rentan hilang atau musnah.
Pelajaran terbesar dari Surat Al-Kahfi ayat 38 adalah tentang pentingnya menjaga lisan dan hati saat menerima nikmat. Rasa syukur sejati diwujudkan bukan hanya dengan ucapan syukur (Alhamdulillah), tetapi juga dengan kesadaran bahwa sumber nikmat tersebut adalah Allah, dan kekuatan untuk menikmati nikmat itu hanya ada pada-Nya. Mengucapkan "Mā shāʼa Llāh" dan "Lā qūwata illā billāh" adalah benteng spiritual agar kekayaan tidak menjerumuskan pemiliknya menuju kesombongan dan kekufuran.