Surat Al-Kahfi, surat ke-18 dalam Al-Qur'an, kaya akan hikmah dan pelajaran hidup. Di antara ayat-ayat yang paling mendalam adalah rentang ayat 70 hingga 80, yang menceritakan dialog dan peristiwa antara Nabi Musa AS dengan seorang hamba Allah yang saleh, yang dikenal sebagai Al-Khidr.
Ayat-ayat ini menyajikan pelajaran krusial tentang keterbatasan ilmu manusia, pentingnya kesabaran dalam menghadapi hal-hal yang tampak buruk, dan keyakinan penuh bahwa di balik setiap kejadian terdapat kebijaksanaan Ilahi yang sempurna.
Tantangan Kesabaran Nabi Musa (Ayat 70-74)
Dialog dimulai ketika Nabi Musa AS merasa bahwa beliau tidak akan mampu bersabar mengikuti Al-Khidr. Al-Khidr memberikan peringatan keras: "Kamu sekali-kali tidak akan dapat bersabar bersamaku." Nabi Musa berjanji akan bersabar, namun Al-Khidr menegaskan bahwa kesabaran itu hanya akan terwujud jika Musa tidak bertanya tentang tindakan yang ia lakukan.
Peristiwa pertama yang terjadi adalah pelubangan perahu. Nabi Musa terkejut melihat tindakan seolah merusak harta milik orang baik. Al-Khidr menjawab dengan bijak (Ayat 71):
وَلَقَدْ أُخِفْتُمْ عَلَىٰ مَنْ سَفِينَتُهُ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا "Adapun perahu, ia adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut; maka aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas setiap perahu (yang baik) dengan paksa." (QS. Al-Kahfi: 71)Di sini, kita belajar bahwa sebuah tindakan yang terlihat merusak di permukaan, bisa jadi merupakan perlindungan besar di balik layar. Pelajaran pertama: Jangan terburu-buru menghakimi kejadian yang tidak kita pahami sepenuhnya.
Pembunuhan Seorang Anak (Ayat 75-77)
Perjalanan berlanjut, dan ujian kedua yang lebih berat datang ketika mereka bertemu dengan seorang anak laki-laki, yang kemudian dibunuh oleh Al-Khidr. Nabi Musa merasa ini adalah pelanggaran yang sangat serius, sebuah dosa besar, dan ia mengingkari janjinya untuk tidak bertanya.
Jawaban Al-Khidr kali ini jauh lebih tegas (Ayat 77):
قَالَ هَٰذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا "Inilah perpisahan antara aku dan kamu. Aku akan jelaskan kepadamu tujuan dari perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat bersabar terhadapnya." (QS. Al-Kahfi: 77)Ayat ini menandai batas ilmu pengetahuan manusia yang terbatas dibandingkan dengan ilmu laduni (ilmu langsung dari Allah) yang dimiliki Al-Khidr. Jika Musa, seorang nabi besar, kesulitan menahan diri, bagaimana dengan kita?
Pembangunan Kembali Dinding (Ayat 78-80)
Ujian terakhir adalah ketika mereka tiba di sebuah kota dan meminta makanan, namun penduduknya menolak memberi mereka. Di sana, Al-Khidr mendapati dinding yang hampir roboh. Ia lantas memperbaikinya. Musa merasa ini tidak perlu, karena mereka bisa saja meminta imbalan untuk perbaikan itu.
Puncak dari semua pelajaran datang di ayat 79-80, di mana Al-Khidr menampakkan hikmah di balik ketiga perbuatannya:
- Perahu: Dirusak agar tidak dirampas raja.
- Anak: Dibunuh karena ia akan tumbuh menjadi kafir dan menyusahkan orang tuanya yang beriman.
- Dinding: Diperbaiki agar menjadi harta warisan bagi dua anak yatim piatu, dan di bawahnya tersimpan harta karun milik mereka.
Firman Allah SWT (Ayat 80):
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ كَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا ۚ فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا "Adapun dinding itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan milik mereka berdua, dan ayah mereka seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki supaya keduanya sampai pada kematangannya dan mereka mengeluarkan simpanan mereka itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan aku sekali-kali tidak melakukannya menurut kehendakku sendiri. Itulah sebabnya maka aku tidak dapat bersabar terhadapnya." (QS. Al-Kahfi: 80)Refleksi Mendalam
Kisah Musa dan Al-Khidr dalam surat Al-Kahfi ayat 70-80 ini mengajarkan kita untuk menerima ketetapan Ilahi, bahkan ketika logika kita menolaknya. Ilmu manusia sangat terbatas. Apa yang kita lihat sebagai ketidakadilan atau kerugian sesaat, mungkin merupakan rahmat tersembunyi atau penjagaan dari kesulitan yang jauh lebih besar di masa depan. Kesabaran (shabr) bukan hanya berarti menahan diri dari marah, tetapi juga menahan diri dari menghakimi kebijaksanaan takdir Allah SWT.