Surat Al-Kahfi (Gua) adalah salah satu surat yang sangat dianjurkan untuk dibaca, terutama pada hari Jumat, karena mengandung empat kisah besar yang menjadi pelajaran fundamental bagi umat Islam dalam menghadapi fitnah dunia. Salah satu momen paling krusial dalam surat ini adalah dialog dan perjalanan penuh misteri antara Nabi Musa AS dan hamba Allah yang saleh, Khidir AS.
Inti dari pelajaran ini terletak pada pemahaman bahwa ilmu manusia terbatas, dan terdapat rahasia Ilahi yang hanya bisa diungkap melalui hikmah yang lebih tinggi. Ayat 74 menjadi titik balik penting setelah peristiwa pertama yang mengejutkan Musa, yaitu ketika Khidir menenggelamkan perahu nelayan yang membawa mereka.
Ayat 74 mengawali babak kedua dari petualangan penuh hikmah ini. Setelah Musa terkejut dengan tindakan Khidir menenggelamkan perahu (sebuah tindakan yang secara zahir terlihat sebagai kezaliman), mereka melanjutkan perjalanan. Rasa lapar dan dahaga mendorong mereka mencari tempat berlindung di sebuah desa.
Permintaan perlakuan yang sederhana—meminta jamuan makan—ditolak mentah-mentah oleh penduduk desa tersebut. Sikap penduduk ini menunjukkan sifat kikir dan kurangnya keramahan. Nabi Musa, yang memiliki sifat kenabian yang cenderung menyukai keadilan yang tampak (sesuai syariat yang ia pahami), mungkin merasa kecewa atau kasihan atas perlakuan penduduk desa itu.
Namun, Khidir, dengan ilmu ladunni (ilmu langsung dari Allah), menunjukkan tindakan yang sama sekali tidak terduga. Di tengah penolakan tersebut, ia melihat sebuah dinding yang hampir roboh. Tindakan Khidir selanjutnya adalah memperbaiki dinding tersebut, membuatnya tegak kembali. Ini dilakukan tanpa diminta bayaran.
Reaksi Nabi Musa sangat manusiawi. Ia bergumam kepada Khidir, "Jikalau engkau mau, tentulah engkau dapat meminta upah untuk itu." Keluhan Musa didasari oleh logika pragmatis: mereka membutuhkan makanan dan perlindungan, dan memperbaiki sesuatu adalah pekerjaan yang pantas mendapatkan imbalan. Jika Khidir mampu melakukan pekerjaan fisik yang sulit (membangun kembali dinding yang rapuh), pastilah meminta imbalan sepadan adalah hal yang wajar.
Inti dari teguran Musa ini adalah kesalahpahaman mendasar mengenai tujuan Khidir. Khidir tidak bertindak berdasarkan keuntungan duniawi atau mencari pujian. Tindakannya semata-mata karena perintah dan pengetahuan yang ia miliki. Perkataan Musa ini menjadi penanda bahwa kesabarannya mulai teruji. Perjalanan ini dirancang untuk mengikis ketergantungan Musa pada pemahaman inderawi semata dan membawanya kepada level pengetahuan yang lebih dalam, di mana kebaikan sejati tidak selalu terlihat dalam bentuk imbalan materi.
Kisah di Al-Kahfi ayat 74 dan ayat-ayat selanjutnya mengajarkan kita tentang pentingnya melihat melampaui permukaan peristiwa. Sikap penduduk desa yang menolak menjamu mereka rupanya mengandung hikmah tersembunyi, sama seperti tindakan Khidir memperbaiki dinding. Ayat ini menekankan bahwa ilmu Allah seringkali melibatkan tindakan yang tampak kontradiktif dengan logika umum manusia. Bagi kita yang hidup di zaman yang serba cepat dan serba meminta imbalan, ayat ini adalah pengingat kuat untuk berbuat baik tanpa mengharapkan balasan langsung, karena balasan sejati datang dari sumber yang tidak terduga.
Perjalanan Musa dan Khidir adalah metafora abadi tentang pencarian kebenaran. Ketika kita merasa telah memahami segalanya, selalu ada tingkatan ilmu yang lebih tinggi, yang diajarkan oleh mereka yang telah Allah karuniai dengan kebijaksanaan khusus. Ayat 74 menegaskan bahwa terkadang, kebaikan sejati hadir dalam situasi penolakan dan kesulitan, yang kemudian dibalas dengan tindakan perbaikan tanpa pamrih.