Merenungkan Batasan Dunia: Kekuatan Surat Al-Kahfi Ayat 96 hingga 100

Ilustrasi Pintu Gerbang dan Cahaya Kebijaksanaan Sebuah gerbang besar dari batu yang terbuka, dikelilingi oleh hutan gelap di kiri dan padang pasir luas di kanan, sementara cahaya terang menyinari dari atas.

Surah Al-Kahfi adalah salah satu surah yang penuh dengan pelajaran penting bagi umat Islam, terutama dalam menghadapi ujian kehidupan, fitnah, dan godaan duniawi. Empat ayat terakhirnya, yaitu ayat 96 hingga 100, menawarkan penutup yang kuat, berfungsi sebagai pengingat mutlak mengenai hakikat penciptaan, batas dunia dan akhirat, serta tanggung jawab ilahiah yang harus kita emban. Ayat-ayat ini sering dibahas karena mengandung pesan tentang perbandingan antara kenikmatan materi yang cepat berlalu dengan kekekalan amal saleh.

Ayat 96: Tanda Nyata Kekuasaan Allah

حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِن دُونِهِمَا قَوْمًا لَّا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلًا

(Hingga apabila ia telah sampai di antara dua gunung, ia menemukan di belakang kedua gunung itu suatu kaum yang hampir tidak dapat memahami perkataan. (QS. Al-Kahfi: 96)

Ayat ini melanjutkan kisah perjalanan Zulkarnain. Setelah melewati berbagai rintangan, ia tiba di dua pegunungan besar yang menjadi penghalang antara dua wilayah. Di sana, ia bertemu dengan masyarakat yang mengalami kesulitan komunikasi karena keterbatasan pemahaman mereka terhadap bahasa Zulkarnain. Ayat ini sering diinterpretasikan sebagai pengingat bahwa pengetahuan dan bahasa manusia itu terbatas, dan terkadang, kebenaran itu sulit diterima oleh mereka yang hatinya belum terbuka. Zulkarnain, sebagai sosok yang diberi kekuasaan, menunjukkan kesabaran dalam menghadapi perbedaan pemahaman ini, sebuah pelajaran penting dalam kepemimpinan dan dakwah.

Ayat 97: Janji Kehancuran Bagi Yang Zalim

قَالُوا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ فَاجْعَلْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا

Mereka berkata: "Hai Zulkarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu (negeri yang) membuat kerusakan di bumi, maka bolehkah kami memberikan kepadamu upeti supaya kamu membuat tembok di antara kami dan mereka?" (QS. Al-Kahfi: 97)

Penduduk setempat memohon bantuan kepada Zulkarnain untuk membangun penghalang fisik terhadap Ya’juj dan Ma’juj yang terkenal sebagai kaum perusak. Permintaan ini menunjukkan bahwa ketika masyarakat dihadapkan pada ancaman nyata—entah itu fitnah, kerusakan moral, atau bahaya fisik—mereka akan mencari solusi yang paling praktis dan efektif. Mereka bahkan bersedia memberikan imbalan materi. Namun, respons Zulkarnain di ayat selanjutnya menunjukkan prioritas yang berbeda.

Ayat 98: Pilihan Zulkarnain: Kekuatan Tuhan Lebih Utama

قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا

Zulkarnain berkata: "Apa yang telah dianugerahkan Tuhanku kepadaku, lebih baik (daripada upeti); maka bantulah aku dengan kekuatan (gabungan tenaga), agar aku dapat membuat penghalang di antara kalian dan mereka." (QS. Al-Kahfi: 98)

Inilah inti pelajaran spiritualnya. Zulkarnain menolak tawaran upeti duniawi. Ia menegaskan bahwa kekuasaan dan kemampuan yang dimilikinya adalah anugerah dari Allah semata. Prinsipnya adalah bahwa kekuatan sejati datang dari ketaatan pada Tuhan, bukan dari kekayaan dunia. Ia meminta bantuan berupa tenaga kerja, bukan emas. Ini mengajarkan umat Islam untuk selalu menjadikan kekuatan yang dimiliki sebagai sarana untuk beribadah dan memberikan manfaat, bukan untuk mencari keuntungan pribadi atau terikat pada materi yang ditawarkan dunia.

Ayat 99 dan 100: Batas Akhir dan Konsekuensi

وَاَتَيْتُكُمْ مِنْ هَذَا أَمْرًا

ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا ۗ قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَن تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَن تَتَّخِذَ فِيهِمْ خَيْرًا

قَالَ أَمَّا مَن ظَلَمَ فَسَوْفَ نُعَذِّبُهُ ثُمَّ يُرَدُّ إِلَىٰ رَبِّهِ فَيُعَذِّبُهُ عَذَابًا نُّكْرًا

وَأَمَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُ جَزَاءً الْحُسْنَىٰ ۖ وَسَنَقُولُ لَهُ مِنْ أَمْرِنَا يُسْرًا

(Ayat 99-100 digabungkan untuk konteks akhir kisah Zulkarnain dan penutup surah)

Setelah membangun penghalang, kisah Zulkarnain berlanjut hingga ke batas barat bumi, di mana matahari terbenam di mata air keruh, dan ia bertemu dengan kaum yang berbeda. Di sini, Allah memberikan pilihan kepadanya mengenai bagaimana memperlakukan kaum tersebut: apakah menghukum yang zalim atau berbuat baik kepada yang beriman.

Tanggapan Zulkarnain sangat tegas dan adil. Bagi yang menzalimi (melakukan kerusakan dan kekafiran), ia akan dihukum di dunia, dan setelah itu akan menerima siksaan yang lebih berat di akhirat (siksaan yang dahsyat/'adzaban nukra). Sebaliknya, bagi mereka yang beriman dan beramal saleh, mereka akan mendapatkan balasan terbaik (surga), dan Zulkarnain akan memberikan kemudahan dalam urusannya. Ayat 100 ini menjadi penutup sempurna: setelah segala perjalanan, ujian, dan fitnah yang diceritakan sepanjang surah, hanya ada dua jalur penentuan: balasan yang baik bagi ketaatan, dan siksaan yang pedih bagi kezaliman dan kekufuran.

Memahami Surat Al-Kahfi ayat 96-100 mengajak kita untuk merefleksikan prioritas hidup. Apakah kita sibuk membangun tembok duniawi yang fana dengan menimbun harta, atau kita fokus membangun amal saleh yang menjadi jembatan menuju keridhaan Ilahi? Kedua ayat terakhir ini menegaskan bahwa keadilan absolut akan ditegakkan, dan setiap perbuatan, baik atau buruk, akan menerima konsekuensinya di hadapan Sang Pencipta. Keberanian Zulkarnain menolak materi demi menjalankan perintah Tuhan harus menjadi teladan bagi kita di tengah derasnya arus materialisme modern.

🏠 Homepage