Al-Qur'an menawarkan pemandangan kosmik yang luar biasa, sering kali menggunakan fenomena alam sebagai saksi kebesaran Allah SWT. Di antara surat-surat pendek yang sangat padat makna, terdapat Surat Asy-Syams (Matahari) dan Surat Al-Lail (Malam). Kedua surat ini, yang berdekatan dalam urutan mushaf, menyajikan dikotomi abadi antara terang dan gelap, yang secara filosofis merefleksikan pilihan moral manusia.
Surat Asy-Syams, yang berarti Matahari, dimulai dengan serangkaian sumpah yang menakjubkan: "Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya." Sumpah-sumpah ini bukan sekadar ornamen sastra; mereka adalah penegasan bahwa ciptaan-ciptaan agung ini adalah bukti nyata adanya Sang Pencipta yang Maha Kuasa.
Inti dari Surat Asy-Syams adalah penekanan pada fitrah manusia—kecenderungan bawaan untuk mengenal kebenaran dan kebaikan. Allah telah memberikan inspirasi kepada jiwa mengenai mana yang fujur (durhaka) dan mana yang takwa (bertakwa). Kebebasan memilih inilah yang menjadi landasan pertanggungjawaban di akhirat. Puncak pelajaran dalam surat ini adalah nasib kaum Thamud yang ingkar terhadap nabi mereka, Saleh AS, karena mereka justru memilih untuk membunuh unta betina—sebuah simbol kesuburan dan mukjizat—daripada menjaga amanah ilahi. Mereka dihancurkan karena mendustakan dan melampaui batas, meskipun telah diberi peringatan dan pilihan yang jelas.
Melanjutkan tema dikotomi, Surat Al-Lail (Malam) bersumpah demi kegelapan yang menyelimuti. "Demi malam apabila telah gelap, dan demi siang apabila telah terang." Jika Asy-Syams menyoroti pilihan moral yang jelas, Al-Lail fokus pada upaya dan hasil dari usaha tersebut.
Surat ini menjelaskan dua jalan utama yang bisa ditempuh manusia. Jalan pertama adalah bagi mereka yang berinfak (mengeluarkan harta di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan adanya pahala terbaik (Al-Husna). Bagi mereka, Allah akan memudahkan urusan menuju kemudahan. Sebaliknya, jalan kedua adalah bagi mereka yang kikir, merasa dirinya sudah cukup, dan mendustakan pahala tertinggi. Bagi yang kikir, konsekuensinya adalah Allah akan memudahkan baginya menuju kesukaran (kemurkaan).
Perbedaan antara kedua surat ini—meskipun keduanya berbicara tentang pilihan—adalah penekanan. Asy-Syams menekankan bahwa petunjuk telah diberikan secara inheren, sementara Al-Lail menekankan konsekuensi praktis dari tindakan kita sehari-hari, baik dalam hal memberi maupun dalam keyakinan tentang hari pembalasan. Kekayaan materi tidak menjamin kebahagiaan atau keselamatan; yang menentukan adalah bagaimana kekayaan itu dikelola.
Keindahan dari penempatan Surat Asy-Syams dan Al-Lail secara berurutan adalah pengingat bahwa alam semesta beroperasi dalam keseimbangan yang sempurna, dan manusia dituntut untuk mencerminkan keseimbangan tersebut dalam tindakannya. Matahari terbit dan terbenam, siang menggantikan malam—ini adalah janji konsistensi Allah dalam hukum alam. Namun, dalam ranah moralitas, manusia diberi kehendak bebas untuk memilih apakah mereka akan mengikuti cahaya petunjuk (takwa) atau memilih kegelapan kesesatan (fujur dan kekikiran).
Memahami kedua surat ini memberikan perspektif bahwa setiap perbuatan, sekecil apa pun, dicatat dan akan menuai hasilnya. Mereka yang berusaha keras dalam ketaatan dan kemurahan hati akan menemukan bahwa jalan menuju kebaikan sejati (Al-Husna) dimudahkan oleh Rabb Semesta Alam. Sebaliknya, keengganan untuk berkorban dan merasa cukup akan menyeret pelakunya ke dalam kesulitan yang diciptakannya sendiri. Membaca dan merenungkan sumpah-sumpah agung ini seharusnya membangkitkan rasa takut (khauf) dan harap (raja') yang sehat terhadap keputusan-keputusan moral kita hari ini.
Dengan demikian, Asy-Syams dan Al-Lail mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang menikmati kenyamanan sesaat, melainkan tentang memposisikan diri kita selaras dengan hukum Ilahi yang telah ditetapkan—baik melalui pengakuan atas kebesaran-Nya melalui alam, maupun melalui perilaku etis kita terhadap sesama dan harta yang kita miliki.