Di antara permata Al-Qur'an, terdapat surat-surat pendek yang menyimpan makna mendalam dan janji kebahagiaan bagi mereka yang merenungkannya. Salah satu surat yang paling menakjubkan adalah Surat Asy-Syams (Matahari), yang diawali dengan sumpah agung: "Wasy-syamsi wa duhaha". Sumpah ini bukan sekadar pembukaan retoris, melainkan penegasan betapa pentingnya topik yang akan dibahas selanjutnya.
Inilah Kekuatan Sumpah Demi Cahaya
Ayat pertama, "Wasy-syamsi wa duhaha" (Demi matahari dan cahayanya di pagi hari), adalah sumpah Allah SWT yang mengaitkan kebenaran risalah-Nya dengan fenomena alam yang paling nyata dan membawa kehidupan. Matahari, setelah terbit di pagi hari (Dhuha), memancarkan energi, kehangatan, dan penerangan. Sumpah ini menegaskan bahwa janji Allah itu sejelas dan seautentik terbitnya matahari.
Setelah bersumpah atas matahari, sumpah dilanjutkan dengan bulan ("Waal-qamari itha talaha"), yang menampakkan dirinya mengikuti matahari. Kemudian bumi yang dihamparkan, jiwa yang disempurnakan, dan penempatan fitrah baik serta buruk dalam diri manusia. Rangkaian sumpah ini membangun fondasi argumentasi yang kuat: Allah, Pencipta alam semesta yang teratur ini, pasti Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya, terutama tentang bagaimana manusia mencapai kesuksesan abadi.
Keberhasilan Terletak Pada Pemurnian Jiwa
Inti dari surat ini terletak pada ayat setelah sumpah-sumpah tersebut. Allah SWT berfirman: "Qad aflaha man zak-kaha" (Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya). Inilah kunci utama yang diungkapkan melalui janji dan sumpah tersebut. Keberuntungan sejati, bukan sekadar sukses duniawi sesaat, diraih melalui proses membersihkan, mendidik, dan menyucikan nafs (jiwa) dari noda-noda kemaksiatan dan keserakahan.
Penyucian jiwa ini mencakup pengenalan diri akan fitrah kebaikan yang telah ditanamkan Allah, serta upaya keras untuk menundukkannya pada ketaatan. Surat ini seolah mengatakan, sebagaimana matahari harus bersinar terang untuk memberikan manfaat, demikian pula jiwa harus dibersihkan agar memancarkan cahaya iman dan takwa.
Konsekuensi Bagi Jiwa yang Mengotori
Sebaliknya, surat ini memberikan peringatan tegas mengenai nasib mereka yang mengabaikan panggilan penyucian jiwa. "Wa qad khaba man dassaha" (Dan sesungguhnya merugialah orang yang mengotorinya). Mengotori jiwa berarti membiarkan hawa nafsu, kesombongan, dan kekikiran menguasai hati. Kerugian ini bersifat final dan melampaui kerugian materi. Ketika jiwa telah tertutup oleh dosa, ia kehilangan kemampuan untuk menerima petunjuk dan kebahagiaan hakiki.
Kisah kaum Tsamud yang mendustakan Nabi Saleh—sebagai contoh nyata—diperkuat di akhir surat. Mereka adalah kaum yang memiliki potensi besar namun memilih jalan kesesatan dan kesombongan dengan membunuh unta betina yang menjadi mukjizat. Kisah ini menjadi cerminan bahwa potensi besar (seperti matahari yang besar) akan sia-sia jika pengelola potensi tersebut (jiwa) telah rusak.
Refleksi Harian: Spirit Dhuha
Keterkaitan antara "Syams" (Matahari) dan "Dhuha" (Waktu Pagi) juga relevan dalam praktik keagamaan umat Islam. Waktu Dhuha adalah waktu di mana matahari telah meninggi setelah terbit. Melakukan salat Dhuha pada waktu ini adalah bentuk syukur atas pembersihan jiwa yang telah dilakukan semalaman, sekaligus memohon keberkahan atas hari yang akan dijalani. Ini adalah upaya berkelanjutan untuk menjaga jiwa tetap dalam keadaan tersucikan, sejalan dengan pesan utama surat wa syamsi wa dhuha.
Dengan merenungkan sumpah-sumpah agung ini, seorang mukmin diingatkan bahwa segalanya di alam semesta ini bersaksi atas kebenaran ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Tugas kita sederhana namun berat: membersihkan hati dan jiwa kita, karena di situlah letak kemenangan abadi yang dijanjikan Allah.