Surat Al-Fatihah, sering dijuluki sebagai "Ummul Kitab" (Induk Al-Qur'an) atau "Sab’ul Matsani" (Tujuh Ayat yang Diulang-ulang), merupakan fondasi utama dalam ibadah salat umat Islam. Memahami makna ayat-ayatnya secara mendalam sangat krusial. Salah satu sumber klasik yang memberikan pemahaman ringkas namun komprehensif adalah kitab Tafsir Jalalain.
Tafsir Jalalain disusun oleh dua ulama besar, Jalaluddin al-Mahalli dan putranya, Jalaluddin as-Suyuthi. Keistimewaan tafsir ini terletak pada keringkasannya yang padat makna, menjadikannya alat bantu yang efektif bagi pembelajar yang ingin segera menangkap inti dari ayat-ayat Al-Qur'an, termasuk ketujuh ayat suci Al-Fatihah.
Menggali Makna Ayat Pertama: Basmalah
Dalam konteks Tafsir Jalalain, kalimat Bismillahir Rahmanir Rahiim ditekankan sebagai pembuka segala urusan yang baik. Imam al-Mahalli dan as-Suyuthi menegaskan bahwa huruf 'Ba' di sini bermakna istianah (memohon pertolongan). Artinya, setiap mukallaf (individu yang dibebani syariat) memulai bacaan Al-Fatihah—dan ibadahnya—dengan mengakui bahwa semua kekuatan datang dari Allah SWT. Penegasan sifat Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahiim (Maha Penyayang) menyoroti keluasan rahmat Allah yang mendahului penghakiman-Nya.
Ayat Kedua: Pujian dan Pengakuan Keilahian
Ayat ini adalah deklarasi totalitas pujian. Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa kata Al-Hamdu mencakup pujian (madh) dan rasa syukur (syukr). Kata 'Rabbil 'Alamin' (Tuhan semesta alam) tidak hanya merujuk pada penciptaan, tetapi juga pada pengurusan dan pemeliharaan segala sesuatu—mulai dari manusia, jin, malaikat, hingga seluruh eksistensi. Ini menegaskan bahwa tidak ada satu pun yang berhak menerima pujian paripurna kecuali Dia.
Ayat Ketiga: Penekanan Sifat Maha Pengasih dan Penyayang
Beberapa ulama memasukkan ayat ini sebagai bagian dari ayat kedua, namun Jalalain memisahkannya untuk memberikan penekanan khusus. Rahmah Allah SWT dijelaskan dengan sangat jelas di sini. Ar-Rahman biasanya merujuk pada rahmat yang umum dan mencakup seluruh makhluk di dunia, sementara Ar-Rahiim lebih spesifik sering dikaitkan dengan rahmat khusus yang diterima oleh hamba-hamba-Nya yang beriman di akhirat. Pengulangan ini berfungsi sebagai peringatan bahwa kasih sayang-Nya adalah sifat esensial-Nya.
Ayat Keempat: Penguasaan Hari Pembalasan
Ayat ini, Maaliki Yawmid-Diin (Pemilik Hari Pembalasan), berfungsi sebagai pengingat akan transisi dari kehidupan duniawi yang penuh kelalaian menuju hari pertanggungjawaban mutlak. Dalam tafsir ringkas ini, ditekankan bahwa hanya Allah yang benar-benar memiliki otoritas penuh pada hari tersebut. Tidak ada intervensi, tidak ada penundaan. Kepemilikan-Nya bersifat hakiki, bukan pinjaman.
Ayat Kelima dan Keenam: Inti Permohonan
Ayat kelima dan keenam adalah puncak dari pengakuan tauhid (keesaan) dan permohonan. Ayat kelima, Iyyaka Na'budu (Hanya Engkaulah yang kami sembah), menetapkan ibadah sebagai hak eksklusif Allah, di mana seluruh bentuk ketaatan dan pengagungan diarahkan kepada-Nya. Ayat keenam, Wa Iyyaka Nasta'iinu (Dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan), menegaskan bahwa segala daya upaya dan kemampuan manusia selalu bergantung pada izin dan pertolongan-Nya.
Ayat Ketujuh: Permintaan Bimbingan
Ayat terakhir ini berisi doa fundamental. Tafsir Jalalain menjelaskan bahwa Ash-Shiraath al-Mustaqiim (Jalan yang lurus) adalah jalan yang telah ditempuh oleh para nabi dan orang-orang saleh. Ini bukan sekadar ajaran, melainkan sebuah permintaan yang dinamis agar Allah senantiasa menjaga langkah kita dari penyimpangan.
Ayat penutup ini merinci sifat Jalan Lurus tersebut: jalan orang-orang yang diberi nikmat (seperti para nabi, siddiqin, syuhada), bukan jalan orang-orang yang dimurkai (karena durhaka dan mengetahui kebenaran namun menolaknya, seperti Yahudi menurut banyak mufassir), dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat (karena kebodohan dan salah penafsiran, seperti Nasrani menurut mufassir klasik). Melalui Jalalain, kita belajar bahwa keselamatan bergantung pada mengikuti jejak yang diridhai Allah secara sadar dan penuh ilmu.
Secara keseluruhan, studi Tafsir Jalalain atas Al-Fatihah mengarahkan pembaca untuk tidak hanya melafalkan ayat-ayat tersebut, tetapi juga meresapi setiap kata sebagai janji ketaatan, pengakuan akan keagungan Ilahi, dan permohonan bimbingan yang berkelanjutan sepanjang hidup seorang Muslim.