Surat Al-Kafirun, atau yang dikenal juga sebagai Surah Al-Kafirun (QS. 109), adalah surat pendek dalam Al-Qur'an yang memiliki kedudukan sangat penting dalam akidah Islam. Diturunkan di Mekkah, surat ini merupakan penegasan prinsip kebebasan beragama, sekaligus penolakan tegas terhadap sinkretisme (pencampuran) keyakinan antara Islam dan kekafiran. Tafsir Jalalain, yang disusun oleh Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan disempurnakan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi, memberikan penjelasan ringkas namun padat makna atas setiap ayatnya.
Menurut riwayat asbabun nuzul yang sering dikutip dalam tafsir-tafsir klasik, surat ini turun sebagai respons terhadap permintaan kaum musyrikin Quraisy. Mereka menawarkan jalan tengah kepada Nabi Muhammad SAW: beliau boleh menyembah berhala mereka selama sehari, dan mereka akan menyembah Allah SWT sehari berikutnya. Surat Al-Kafirun turun sebagai wahyu untuk menjawab tawaran tersebut dengan penolakan total dan penegasan prinsip dasar akidah.
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (Katakanlah: "Hai orang-orang kafir!")
Ayat ini merupakan perintah langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan pemisahan akidah kepada kaum kafir Mekah.
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah.)
Jalalain menjelaskan bahwa 'ma ta'budun' (apa yang kalian sembah) di sini merujuk kepada berhala-berhala yang mereka puja. Penolakan ini bersifat umum dan tegas pada masa sekarang (saat wahyu turun).
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (Dan kamu tidak (pula) menyembah apa yang aku sembah.)
Ayat ini menegaskan bahwa pihak lawan (orang kafir) tidak akan pernah mau mengikuti dan menyembah Allah yang disembah oleh Rasulullah. Dalam tafsir Jalalain, kata 'la' (tidak) di sini diletakkan pada masa mendatang, menunjukkan bahwa mereka tidak akan berubah keimanan.
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (Dan aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.)
Ini adalah penekanan kembali pada poin kedua, namun konteksnya bergeser ke masa depan ('laa ana 'aabidun' sering ditafsirkan sebagai penegasan masa depan atau kesinambungan status). Penegasan ini menunjukkan keteguhan komitmen Nabi Muhammad SAW.
وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (Dan kamu tidak (pula) menyembah apa yang aku sembah.)
Ayat 5 mengulangi ayat 3. Pengulangan ini memperkuat pesan pemisahan dan ketegasan dalam penetapan batas-batas ritual dan keyahidan.
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.)
Inilah puncak penegasan surat tersebut. Menurut Jalalain, frasa ini adalah penetapan batasan final. Bagi orang kafir, konsekuensi dari pilihan mereka adalah milik mereka sendiri. Bagi Rasulullah dan kaum mukminin, konsekuensi dari tauhid adalah milik mereka. Ini bukan berarti toleransi dalam ranah akidah (pencampuran ibadah), melainkan pengakuan terhadap konsekuensi terpisah dari dua jalan hidup yang bertentangan.
Tafsir Jalalain menekankan bahwa Surat Al-Kafirun adalah pondasi bagi prinsip Barā’ah (pembebasan diri) dari kekafiran. Surat ini memuat konsep al-walā’ wa al-barā’ (loyalitas dan pembebasan diri) dalam ranah akidah. Meskipun Islam mengajarkan kasih sayang dan keadilan kepada sesama manusia, Al-Kafirun menegaskan bahwa ritual, persembahan, dan pokok-pokok keyakinan tidak dapat dinegosiasikan atau dicampuradukkan.
Para ulama menafsirkan surat ini sebagai penolakan terhadap tashwīf (penyamarataan) antara hak dan batil. Ayat-ayat ini membuktikan bahwa keimanan yang benar memerlukan ketegasan dan kejelasan garis pemisah yang tidak boleh kabur. Surat ini menjadi amalan sunnah Rasulullah SAW yang sangat dianjurkan dibaca sebelum tidur, sebagai bentuk pembaruan janji setia kepada Tauhid setiap malam.
Secara ringkas, Tafsir Jalalain menggarisbawahi bahwa Al-Kafirun adalah deklarasi keikhlasan total kepada Allah SWT, memisahkan secara fundamental antara jalan orang beriman dan jalan orang-orang yang memilih kufur, tanpa menyisakan ruang untuk kompromi dalam urusan ibadah dan ketuhanan.