(Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur'an) dan Dia tidak menjadikan di dalamnya kebengkokan sedikit pun.)
Ayat pembuka Surat Al-Kahfi ini langsung mengarahkan fokus seorang Muslim kepada sumber segala pujian, yaitu Allah SWT. Kata kunci di sini adalah "Alhamdulillah". Pujian ini bukan sekadar ucapan lisan, tetapi pengakuan bahwa segala kesempurnaan hanya milik-Nya. Allah dipuji karena dua hal utama yang disebutkan dalam ayat ini:
Pengagungan di awal surat ini berfungsi sebagai fondasi spiritual. Sebelum membahas kisah-kisah penting di dalamnya, diingatkan bahwa semua hikmah dan petunjuk berasal dari Zat Yang Maha Sempurna.
(Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang keras dari sisi-Nya, dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa mereka akan mendapat pahala yang baik.)
Ayat kedua menjelaskan fungsi konkret Al-Qur'an sebagai petunjuk yang "Qayyiman" (lurus dan tegak). Tujuan ini terbagi menjadi dua aspek krusial yang saling melengkapi—peringatan dan kabar gembira:
Keseimbangan antara harapan dan ketakutan ini menunjukkan metode dakwah yang sempurna yang ditawarkan Al-Qur'an.
(Mereka berada di dalamnya selama-lamanya.)
Ayat singkat namun padat ini menegaskan sifat abadi dari janji pahala tersebut. Kata "Maakitsiin fihi Abada" (tinggal di dalamnya selamanya) merujuk pada surga yang dijanjikan. Ini menempatkan nilai tertinggi pada amal saleh yang dilakukan di dunia, karena hasilnya bersifat kekal, berbeda dengan kenikmatan duniawi yang fana.
(Dan untuk memperingatkan orang-orang yang berkata, "Allah mengambil seorang anak.")
Ayat ini kembali pada fungsi peringatan, namun kali ini menargetkan kekeliruan akidah yang sangat fatal, yaitu anggapan bahwa Allah memiliki anak. Dalam konteks turunnya Al-Qur'an, ini adalah bantahan tegas terhadap klaim-klaim yang menyimpang dari tauhid murni, baik dari kalangan Yahudi, Nasrani, maupun musyrikin Mekkah.
Penyimpangan tauhid ini dianggap sebagai dosa terbesar yang membawa pada ancaman azab yang disebutkan pada ayat 2. Al-Qur'an hadir untuk meluruskan pandangan mengenai keesaan Allah (Tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah).
(Mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kalimah (perkataan) yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta.)
Ayat terakhir dari pembukaan ini menutup dengan penekanan bahwa keyakinan sesat (seperti mengatakan Allah punya anak) tidak didasari oleh pengetahuan sedikit pun, baik pengetahuan yang datang dari wahyu maupun pengetahuan yang diwarisi dari orang tua mereka.
Pernyataan tersebut dicap sebagai "kalimat yang mungkar" (perkataan yang sangat buruk) yang keluar dari mulut mereka. Mereka tidak mengatakan apa pun kecuali kebohongan semata. Ini mengajarkan bahwa dalam masalah keimanan dan aqidah, spekulasi dan warisan tradisi buta tidak dapat menggantikan kebenaran yang datang dari wahyu Ilahi.
Rujukan tafsir berdasarkan interpretasi umum dari ayat-ayat awal Surat Al-Kahfi.