Surah Al-Ikhlas, yang berarti "Memurnikan Kepercayaan," adalah salah satu surah terpendek namun paling padat makna dalam Al-Qur'an. Surah ini merupakan penegasan fundamental tentang keesaan (Tauhid) Allah SWT, menjadi fondasi aqidah bagi setiap Muslim. Ayat per ayat dalam surah ini membangun definisi ilahi yang sempurna, menolak segala bentuk kesyirikan atau penyekutuan terhadap Tuhan Semesta Alam.
Fokus utama dari pembahasan ini adalah ayat ketiga, yang seringkali menjadi penekanan penting dalam menjelaskan kemandirian mutlak Allah. Memahami terjemahan dan konteksnya membantu kita memurnikan ibadah dan keyakinan kita hanya tertuju kepada-Nya.
"Ia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,"
Ayat ketiga ini secara tegas membantah tiga konsep keliru yang sering dianut oleh berbagai agama atau kepercayaan pagan di masa lalu, dan bahkan masih relevan untuk diluruskan di era modern. Konsep pertama yang disangkal adalah gagasan bahwa Allah memiliki keturunan (anak). Dalam konteks politeisme lama, seringkali dewa-dewi dianggap sebagai anak dari dewa yang lebih tinggi. Islam menolak total gagasan ini. Allah adalah esa, tidak memiliki pasangan, dan tidak membutuhkan proses reproduksi sebagaimana makhluk ciptaan-Nya.
Kebutuhan untuk melahirkan atau diperanakkan adalah ciri khas makhluk yang fana, yang rentan terhadap kematian dan membutuhkan keberlangsungan spesies. Allah SWT, sebagai Al-Hayyu (Yang Maha Hidup) dan Al-Qayyum (Yang Maha Berdiri Sendiri), kekal abadi. Keabadian-Nya tidak memerlukan proses kelahiran kembali atau pewarisan garis keturunan. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada yang setara dengan Allah, apalagi yang berasal dari-Nya secara biologis.
Aspek kedua dari ayat ini adalah penolakan terhadap konsep bahwa Allah diperanakkan. Ini berarti Allah bukanlah hasil dari proses penciptaan, bukan pula turunan dari entitas ilahi sebelumnya. Jika Allah diperanakkan, maka Ia pasti memiliki permulaan eksistensi, dan jika Ia memiliki permulaan, maka eksistensi-Nya tidak akan kekal. Penolakan ini memastikan bahwa Allah adalah Al-Awwal (Yang Pertama) tanpa awal yang diketahui selain Diri-Nya sendiri.
Secara teologis, ayat ini merupakan inti dari tauhid nafi' wa itsbat (penolakan dan penetapan). Kita menolak segala sifat makhluk (seperti beranak atau diperanakkan) dari Allah, dan secara implisit menetapkan kesempurnaan-Nya yang transenden dan mandiri. Ayat ini menjadi pembeda utama antara konsep Islam tentang Tuhan dengan konsep Trinitas dalam beberapa denominasi Kristen (yang meyakini Yesus sebagai Anak Allah) atau mitologi Yunani kuno yang penuh dengan kisah keturunan para dewa.
Ayat 3 ini tidak berdiri sendiri. Ia berfungsi melengkapi ayat sebelumnya dan mempersiapkan landasan bagi ayat berikutnya. Ayat 1 (Qul Huwa Allahu Ahad) menetapkan keesaan tunggal. Ayat 2 (Allahus Shamad) menjelaskan bahwa Dia adalah Yang Maha Dibutuhkan, tempat segala sesuatu bergantung. Kemudian, ayat 3 (Lam yalid wa lam yulad) menjelaskan kemandirian-Nya dari segala bentuk kebutuhan fisik atau keterbatasan eksistensial.
Jika Allah membutuhkan keturunan untuk melanjutkan kekuasaan-Nya, maka Dia tidak Al-Shamad (Yang Maha Dibutuhkan). Jika Dia dilahirkan, maka Dia tunduk pada waktu dan keterbatasan materi. Oleh karena itu, penegasan dalam ayat ketiga ini adalah kunci untuk memahami kemuliaan dan kesempurnaan Allah yang mutlak. Ia tidak terikat oleh ruang, waktu, kelahiran, maupun kematian. Pemahaman yang kokoh terhadap terjemahan surah al ikhlas ayat 3 ini akan menguatkan hati seorang mukmin agar tidak mudah terpengaruh oleh pemahaman-pemahaman yang menyimpang mengenai hakikat Tuhan.
Melalui tadabbur (perenungan) ayat ini, seorang Muslim diingatkan bahwa ibadah yang sah harus ditujukan kepada Dzat yang benar-benar Maha Kuasa, Maha Mandiri, dan tidak menyerupai apapun dari ciptaan-Nya. Keindahan Surah Al-Ikhlas terletak pada kemampuannya merangkum esensi Tauhid dalam kalimat-kalimat yang singkat namun padat makna, memurnikan pandangan kita dari segala bentuk khayalan atau perumpamaan tentang Keagungan-Nya.