Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia memiliki akar sejarah dan leksikon yang sangat erat, berasal dari rumpun bahasa yang sama. Namun, meskipun sering kali terasa saling memahami, proses penerjemahan dari Melayu ke Indonesia—atau sebaliknya—bukan sekadar mengganti satu kata dengan kata yang lain. Proses ini memerlukan pemahaman mendalam terhadap konteks budaya, evolusi bahasa modern, dan perbedaan leksikal yang muncul akibat perkembangan regional yang berbeda. Artikel ini akan mengupas tantangan dan strategi dalam menerjemahkan teks dari bahasa Melayu (seperti yang digunakan di Malaysia atau Brunei) ke dalam Bahasa Indonesia yang baku.
Inti dari kedua bahasa ini adalah kesamaan tata bahasa yang signifikan. Struktur kalimat (Subjek-Predikat-Objek) umumnya paralel, dan banyak kosakata dasar yang identik. Hal ini memudahkan penerjemah pemula. Namun, ketika kita masuk ke ranah kosa kata sehari-hari, istilah teknis, atau bahasa gaul, perbedaan mulai tampak signifikan. Bahasa Indonesia, setelah kemerdekaannya, cenderung mengadopsi lebih banyak serapan dari bahasa Belanda atau bahasa daerah nusantara yang berbeda, sementara Bahasa Melayu modern mungkin lebih terbuka pada serapan dari bahasa Inggris atau mempertahankan beberapa istilah lama.
Salah satu jebakan terbesar adalah false cognates atau kata yang terlihat sama tetapi memiliki makna yang sangat berbeda (atau bahkan berlawanan). Menerjemahkan kata secara harfiah tanpa konteks dapat menghasilkan kesalahan fatal. Sebagai contoh, kata "selamba" dalam Bahasa Melayu berarti santai atau tenang, sedangkan dalam Bahasa Indonesia bisa memiliki konotasi negatif (terlalu cuek atau tidak peduli). Memahami konteks penggunaan adalah kunci utama dalam navigasi semantik ini.
Berikut adalah beberapa contoh umum yang sering muncul saat kita diminta untuk terjemahkan berikut dari melayu:
Dunia digital mempercepat pergeseran bahasa. Bahasa gaul Melayu ("Bahasa Rojak" atau slang lokal) dan slang Indonesia ("Bahasa Prokem") berkembang secara independen. Penerjemahan teks dari media sosial atau percakapan informal menuntut penerjemah untuk menjadi seorang ahli linguistik budaya. Sebuah ungkapan yang viral di Kuala Lumpur mungkin sama sekali tidak berarti apa-apa atau diinterpretasikan secara berbeda di Jakarta. Penerjemah yang baik harus memutuskan: apakah perlu mempertahankan nuansa aslinya, atau menggantinya dengan padanan gaul lokal Indonesia yang memiliki fungsi sosial yang sama? Keputusan ini sering kali menentukan kualitas akhir terjemahan.
Tingkat formalitas adalah faktor krusial lainnya. Dalam dokumen resmi atau hukum, konsistensi terminologi harus dijaga ketat. Bahasa Melayu di Malaysia memiliki badan standardisasi yang kuat, dan padanannya dalam Bahasa Indonesia harus dicocokkan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan terminologi resmi kementerian terkait. Misalnya, istilah birokrasi mungkin memiliki padanan resmi yang telah ditetapkan oleh kedua negara, yang harus dipatuhi oleh penerjemah profesional. Kesalahan dalam terjemahan istilah resmi dapat memiliki konsekuensi hukum.
Menerjemahkan dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia adalah perjalanan linguistik yang menarik, bukan sekadar tugas mekanis. Ini adalah upaya untuk menjembatani dua komunitas penutur yang berpisah secara politik namun terikat oleh bahasa induk yang sama. Meskipun kedekatan leksikal mempermudah permulaan, kedalaman pemahaman terhadap nuansa regional, perubahan makna, dan konteks sosial adalah kunci untuk menghasilkan terjemahan yang tidak hanya akurat secara kata per kata, tetapi juga relevan dan bermakna bagi audiens Indonesia. Bagi siapa pun yang diminta untuk menerjemahkan teks dari Melayu, kesabaran dan rasa ingin tahu linguistik akan menjadi aset terbesar mereka.