Surat Al-Ikhlas, yang juga dikenal sebagai Surah At-Tauhid, adalah salah satu surat terpendek namun memiliki kedalaman makna yang luar biasa dalam Islam. Surat ini merupakan pilar utama dalam memahami konsep keesaan Allah (Tauhid). Terdiri dari empat ayat pendek, setiap ayatnya memancarkan esensi sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna dan tidak ada tandingannya.
Fokus utama pembahasan kita kali ini adalah pada ayat ketiga dari surat tersebut. Ayat ini secara tegas meniadakan segala bentuk perbandingan, penyekutuan, atau kesamaan antara Allah dengan makhluk ciptaan-Nya. Mari kita lihat bunyi ayat tersebut beserta penjelasannya.
Frasa pertama, "Lam yalid" (tidak beranak), menolak asumsi bahwa Allah memiliki keturunan. Dalam konteks historis turunnya surat ini, penolakan ini merupakan sanggahan keras terhadap klaim kaum musyrikin yang menyembah berhala atas dasar bahwa tuhan mereka adalah anak dewa-dewi lain, atau terhadap klaim dari komunitas lain yang meyakini bahwa ada entitas yang menjadi "putra" Allah. Islam mengajarkan bahwa Tuhan yang benar adalah tunggal, mandiri, dan tidak memerlukan generasi penerus. Konsep beranak memerlukan kebutuhan, kelemahan, atau keterbatasan fisik—semua hal yang mustahil dilekatkan pada Dzat Yang Maha Kuasa.
Keberadaan anak seringkali dikaitkan dengan keinginan untuk melestarikan diri, melanjutkan garis keturunan, atau karena keterbatasan usia. Allah subhanahu wa ta'ala Mahatinggi di atas semua atribut kekurangan tersebut. Jika Allah beranak, maka akan timbul pertanyaan logis: Siapa yang menciptakan yang melahirkan? Dan jika yang melahirkan memerlukan yang melahirkan sebelumnya, maka rantai ini akan menuju pada kebutuhan akan pencipta awal yang berdiri sendiri. Ayat ini menutup rapat semua kemungkinan tersebut dengan menegaskan bahwa Allah tidak memerlukan proses reproduksi atau pewarisan.
Bagian kedua, "walam yoolad" (dan tiada diperanakkan), melengkapi peniadaan yang ada pada bagian pertama. Ini menegaskan bahwa Allah juga bukan hasil dari proses penciptaan atau kelahiran oleh entitas lain. Artinya, Allah tidak dilahirkan oleh siapa pun, dari apa pun, dan dalam bentuk apa pun. Ia adalah al-Awwal (Yang Pertama) dan al-Akhir (Yang Terakhir), yang keberadaannya tidak bergantung pada sebab-akibat yang berlaku di alam semesta ciptaan-Nya.
Ketika seseorang memahami ayat ini, ia akan menyadari bahwa segala sesuatu yang memiliki awal dan akhir—segala sesuatu yang dilahirkan atau yang harus melahirkan untuk melanjutkan keberadaannya—adalah makhluk, bukan Khaliq (Pencipta). Keunikan Allah terletak pada hakikat Wujud-Nya yang azali (tanpa permulaan) dan abadi (tanpa akhir). Ini adalah inti dari kemandirian Ilahi (As-Samad) yang dijelaskan pada ayat ketiga Surat Al-Ikhlas.
Memahami dan mengimani bahwa Allah "tidak beranak dan tidak diperanakkan" memiliki dampak signifikan pada cara seorang Muslim beribadah dan memandang realitas:
Surat Al-Ikhlas, dengan ayat ketiganya yang ringkas namun padat, berfungsi sebagai filter teologis. Ia memurnikan pemahaman kita tentang Tuhan dari segala mitos, antropomorfisme (penggambaran Tuhan dalam bentuk manusia), dan kesalahan konseptual. Ayat ini adalah penegasan bahwa konsep ketuhanan yang sejati harus melampaui batas-batas pemahaman material kita.
Dengan merenungkan "Lam yalid walam yoolad", seorang mukmin semakin mengagungkan kebesaran Allah yang berada di luar jangkauan pemikiran linear dan siklus kehidupan duniawi. Kesempurnaan Ilahi adalah ketidakberantaraan, keabadian yang mutlak, dan kesendirian dalam keagungan.