Turunnya Surat Al-Ikhlas: Inti Ketauhidan

Kisah turunnya satu surat dalam Al-Qur'an sering kali penuh dengan drama dan pelajaran mendalam. Salah satu yang paling sarat makna adalah kisah di balik turunnya Surat Al-Ikhlas (Q.S. Al-Ikhlas: 1-4). Surat yang terdiri dari empat ayat pendek ini memuat inti ajaran Islam, yaitu penegasan mutlak tentang keesaan Allah SWT, tauhid yang murni.

ALLAHU Ahad Tauhid Murni Simbol Tauhid dan Keesaan Allah

Gambar: Representasi visual dari konsep tauhid (keesaan Allah).

Latar Belakang Pertanyaan Kaum Musyrik

Periode kenabian di Makkah adalah masa di mana akidah umat Islam terus diuji. Tantangan terbesar datang dari kaum Quraisy yang masih berpegang teguh pada politeisme (syirik). Mereka bingung dengan konsep Tuhan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Berbeda dengan dewa-dewi mereka yang berwujud, memiliki nasab, atau membutuhkan persekutuan, Tuhan yang disembah Nabi Muhammad tampak asing bagi mereka.

Keunikan ajaran Islam ini mendorong para pemuka Quraisy untuk mendatangi Rasulullah SAW dan menanyakan secara spesifik tentang hakikat Tuhan yang beliau serukan. Mereka ingin deskripsi yang jelas dan terperinci mengenai Dzat yang disembah oleh kaum Muslimin. Dalam riwayat yang banyak dikutip dari Ibnu Abbas RA, kaum musyrikin berkata, "Sebutkanlah kepada kami tentang Tuhanmu itu, ya Muhammad! Apakah Dia terbuat dari emas, perak, ataukah terbuat dari apa?"

Respon Ilahi: Turunnya Al-Ikhlas

Atas permintaan yang mendasar ini, Allah SWT menurunkan wahyu yang singkat namun mengandung cakupan makna yang sangat luas, yaitu Surat Al-Ikhlas. Wahyu ini tidak hanya menjawab pertanyaan mereka, tetapi juga menetapkan standar ketauhidan yang tidak boleh ditawar sedikit pun. Surat ini berfungsi sebagai 'standar emas' tauhid.

Ayat pertama, "Qul Huwallahu Ahad" (Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa), langsung menolak semua tuduhan bahwa Allah memiliki wujud yang bisa diidentifikasi seperti ciptaan-Nya, atau bahwa Dia adalah partikel dari materi apapun. Penegasan keesaan (Ahad) ini meniadakan konsep pluralitas ketuhanan.

Penegasan Sifat Allah yang Maha Sempurna

Dua ayat berikutnya memperkuat pernyataan pertama dengan meniadakan segala bentuk keterbatasan yang melekat pada makhluk. Ayat kedua, "Allahu Samad" (Allah Yang Maha Dibutuhkan), adalah poin krusial. Ash-Shamad berarti Dzat tempat segala sesuatu bergantung, yang kekal, tidak berlubang, tidak beranak, dan tidak diperanakkan. Semua makhluk membutuhkan-Nya, tetapi Dia tidak membutuhkan siapapun. Sifat ini membedakan Allah dari segala ciptaan yang pasti membutuhkan sesuatu untuk eksis atau bertahan.

Jika mereka masih bertanya tentang perbandingan atau kemiripan, ayat ketiga dan keempat memberikan bantahan pamungkas: "Lam Yalid wa Lam Yuulad" (Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan), dan "Wa Lam Yakullahu Kufuwan Ahad" (Dan tiada seorang pun yang menyamai Dia). Penolakan terhadap konsep beranak-pinak menghilangkan klaim ilahi yang dimiliki oleh banyak mitologi kuno, termasuk klaim yang disematkan kepada beberapa nabi dan figur suci oleh agama lain. Sifat tunggal Allah ditegaskan tanpa ada satu pun yang setara dengan-Nya.

Keagungan Al-Ikhlas

Surat Al-Ikhlas sangat diagungkan dalam Islam karena ia adalah ringkasan teologi Islam yang paling padat. Bahkan, surat ini disebut sebanding dengan sepertiga Al-Qur'an, sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Keutamaan ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman yang benar mengenai konsep ketuhanan yang murni (tauhid) dalam agama ini.

Ketika seorang Muslim membaca surat ini, ia tidak hanya mengulang ayat; ia sedang menyatakan sumpahnya untuk tidak menyekutukan Allah dengan apapun, menolak segala bentuk perumpamaan terhadap-Nya, dan mengakui bahwa hanya Dialah yang berhak disembah. Kisah turunnya Al-Ikhlas menjadi pengingat abadi bahwa fondasi keimanan adalah pengenalan yang benar terhadap siapa Tuhan kita. Ini adalah jawaban definitif yang diberikan langsung dari Langit kepada pertanyaan paling fundamental manusia tentang Pencipta alam semesta.

🏠 Homepage