Visualisasi semangat juang Rossoneri.
Tahun-tahun di akhir dekade 1990-an sering kali menjadi masa transisi yang menarik dalam sejarah klub-klub besar Eropa. Bagi AC Milan, periode menjelang pergantian milenium, khususnya sekitar musim 1997/1998, menandai upaya serius untuk kembali ke puncak kejayaan setelah sempat mengalami penurunan performa dibandingkan era dominasi mereka di awal dekade tersebut. Ini adalah periode di mana fondasi untuk era sukses berikutnya mulai diletakkan, meskipun hasilnya belum langsung berupa Scudetto.
AC Milan pada saat itu bukan lagi tim yang diperkuat oleh para juara bertahan Liga Champions secara berturut-turut. Mereka sedang berjuang membangun kembali identitasnya. Kedatangan pelatih baru, atau pergantian arsitek taktik, menjadi sorotan utama. Musim tersebut sering diasosiasikan dengan harapan besar yang disematkan pada nama-nama bintang yang masih tersisa atau yang baru didatangkan. Skuad ini dituntut untuk menunjukkan semangat juang yang pernah menjadikan San Siro 'benteng' yang tak tertembus di kompetisi domestik maupun Eropa.
Salah satu aspek paling menarik dari skuad di era ini adalah perpaduan antara veteran yang telah memenangkan segalanya dan pemain muda yang lapar akan trofi. Para legenda seperti Franco Baresi mungkin sudah memasuki senja karier mereka atau baru saja pensiun, memaksa klub untuk mempercepat proses regenerasi. Ini selalu menjadi tantangan berat bagi klub sekelas Milan; mempertahankan standar kemenangan sambil menyuntikkan darah muda.
Lini tengah selalu menjadi jantung kekuatan Rossoneri. Meskipun nama-nama besar seperti Dejan Savićević mungkin tidak lagi berada di puncak performa mereka, peran mereka dalam memberikan visi masih krusial. Namun, sorotan mulai beralih kepada gelandang pekerja keras yang mampu mengimbangi kecepatan permainan yang mulai berubah menjadi lebih fisik dan cepat. Permainan Italia saat itu mulai meninggalkan sedikit gaya Catenaccio klasik menuju pendekatan yang lebih dinamis.
Di lini depan, AC Milan selalu berusaha mengamankan penyerang kelas dunia. Musim-musim sekitar tahun 1998 seringkali melibatkan spekulasi transfer besar, mencoba mencari duet maut yang mampu menyaingi duo-duo mematikan yang pernah ada sebelumnya. Konsistensi di lini depan sangat bergantung pada kemampuan individu untuk menciptakan momen magis di tengah pertahanan lawan yang semakin terorganisir. Kehadiran striker dengan ketajaman alami menjadi komoditas paling mahal bagi tim.
Serie A pada akhir 90-an adalah liga paling kompetitif di dunia. Juventus, Lazio, Parma, dan klub-klub besar lainnya saling sikut berebut Scudetto. Berada di lingkungan persaingan sekeras ini berarti bahwa satu kekalahan tandang saja bisa berarti kehilangan gelar. Bagi Milan, musim 1998 adalah tentang mengumpulkan poin secara konsisten, mengatasi rival langsung, dan membuktikan bahwa mereka masih layak dianggap sebagai penantang serius, bukan sekadar penonton kesuksesan rival sekota mereka, Inter, atau keperkasaan Juventus saat itu.
Meski mungkin tidak berakhir dengan perayaan besar gelar Serie A pada musim itu, pengalaman bertarung di tengah ketatnya persaingan menjadi modal penting. Pemain-pemain muda yang dibentuk di bawah tekanan tinggi inilah yang kemudian akan menjadi tulang punggung klub ketika Silvio Berlusconi kembali mengambil alih dan membangun tim yang kembali mendominasi Eropa di tahun-tahun berikutnya. Skuad '98 adalah batu bata, yang mungkin terlihat sederhana, namun sangat penting dalam arsitektur kejayaan Milan di masa depan. Mereka adalah simbol ketahanan di tengah badai transisi liga.
Meskipun statistik akhir musim mungkin tidak selalu mencerminkan keglamoran yang diharapkan publik, memori para penggemar seringkali tertuju pada semangat pantang menyerah yang diperlihatkan oleh para pemain. Sepak bola bukan hanya tentang trofi; ini juga tentang momen-momen heroik, perjuangan keras di lapangan hijau, dan loyalitas yang dipertunjukkan saat klub sedang tidak berada di masa puncaknya. Kenangan akan AC Milan 1998 adalah pengingat bahwa bahkan klub raksasa pun harus melalui masa-masa pembangunan kembali yang penuh liku sebelum kembali mendominasi panggung dunia.
Periode ini mengajarkan pentingnya kesabaran bagi para tifosi, menunjukkan bahwa fondasi tim yang kuat dibentuk melalui proses yang bertahap, bukan instan. Mereka adalah jembatan antara era kejayaan awal 90-an dan kembalinya Milan ke level elite Eropa.