Surah Adh-Dhuha, surat ke-93 dalam Al-Qur'an, merupakan rangkaian ayat yang turun sebagai penghiburan bagi Nabi Muhammad SAW ketika beliau mengalami masa-masa sulit dan jeda wahyu. Ayat-ayat ini penuh dengan pelajaran berharga mengenai keikhlasan, syukur, dan tanggung jawab sosial. Salah satu ayat kunci yang sering ditekankan dalam konteks kemanusiaan adalah **Ad Dhuha ayat 9**.
Ayat ini berbicara langsung, memberikan perintah tegas dari Allah SWT kepada Rasulullah SAW—dan secara implisit kepada seluruh umat Islam—mengenai perlakuan terhadap anak yatim. Kata kunci dalam ayat ini adalah "Falaa Taqhar" (فَلَا تَقْهَرْ), yang berarti "janganlah engkau menindas" atau "janganlah engkau berlaku sewenang-wenang/merendahkan".
Perintah ini memiliki bobot yang sangat besar. Mengapa? Karena pada saat wahyu ini turun, Nabi Muhammad SAW sendiri pernah menjadi seorang yatim piatu sejak usia dini. Allah SWT mengingatkan beliau akan kondisi masa lalu beliau yang penuh dengan keterbatasan dan kebutuhan akan belas kasihan.
Dengan mengingatkan Nabi akan status beliau sebagai yatim, Allah SWT menanamkan empati mendalam. Perintah "jangan menindas" bukan hanya sekadar larangan melakukan kekerasan fisik atau perlakuan kasar. Penindasan (qahr) di sini mencakup spektrum yang lebih luas, seperti:
Dalam masyarakat pra-Islam, anak yatim seringkali menjadi kelompok yang paling rentan dan dieksploitasi. Mereka kehilangan pelindung utama (ayah) dan seringkali diperlakukan seolah-olah mereka tidak memiliki hak dan kedudukan sosial. Islam, melalui ayat-ayat seperti Ad Dhuha ayat 9, mereformasi total pandangan masyarakat terhadap anak-anak ini.
Penekanan pada perlakuan baik terhadap yatim ini menjadi tolok ukur keimanan seseorang. Ayat sebelumnya (Ad Dhuha ayat 8) mengingatkan tentang nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada Nabi, dan kelanjutan ayat berikutnya (Ad Dhuha ayat 10) memerintahkan untuk mensyukuri nikmat tersebut dengan menceritakan kebaikan Allah. Memberi kabar baik kepada yatim adalah salah satu wujud nyata syukur tersebut.
Menghormati anak yatim berarti mengakui kemanusiaan mereka sepenuhnya, memberikan rasa aman, dan memastikan bahwa mereka tumbuh dengan martabat yang utuh, tanpa perlu merasa rendah diri karena status mereka sebagai anak yang kehilangan ayah.
Perintah ini menuntut implementasi nyata dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim. Ini bukan sekadar kewajiban ritual, melainkan etos sosial. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa kita tidak menindas atau merendahkan anak yatim?
Ad Dhuha ayat 9 adalah pengingat abadi bahwa kebaikan hati dan kepedulian terhadap yang paling lemah adalah esensi sejati dari ajaran Islam. Ketika Allah SWT memuji Nabi Muhammad SAW, pujian tersebut sekaligus mengandung instruksi universal tentang bagaimana seharusnya seorang mukmin bersikap terhadap sesamanya, terutama mereka yang membutuhkan perlindungan.