Dalam konteks Indonesia yang majemuk dan sangat dinamis, praktik politik seringkali menjadi sorotan utama publik. Namun, di tengah hiruk pikuk kontestasi kekuasaan dan perbedaan ideologi, nilai fundamental yang sering terlupakan adalah adab berpolitik. Adab, yang berarti tata krama, etika, dan perilaku yang terpuji, seharusnya menjadi landasan utama setiap interaksi dalam arena politik, dari tingkat akar rumput hingga elit tertinggi.
Adab berpolitik melampaui sekadar kepatuhan terhadap peraturan formal. Ini adalah cerminan dari kedewasaan spiritual dan intelektual seorang pelaku politik. Di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seperti gotong royong dan sopan santun, kemerosotan etika dalam berpolitik—seperti penggunaan ujaran kebencian, serangan pribadi, dan politik identitas yang destruktif—menjadi ironi yang menyakitkan.
Pentingnya adab berpolitik dapat dilihat dari beberapa aspek krusial. Pertama, politik bertujuan untuk melayani kepentingan publik dan menciptakan kesejahteraan bersama. Ketika adab diabaikan, fokus bergeser dari pelayanan menjadi perebutan kekuasaan dengan segala cara. Ini menyebabkan kebijakan publik menjadi tidak fokus dan sering kali didasarkan pada sentimen sesaat, bukan pada pertimbangan rasional jangka panjang.
Kedua, adab menjaga kohesi sosial. Indonesia adalah mozaik suku, agama, dan ras. Politik yang dilakukan tanpa adab cenderung memperkeruh jurang perbedaan tersebut, memecah belah masyarakat demi keuntungan elektoral sesaat. Politik yang beradab justru harus mampu merangkul keragaman, menggunakan dialog sebagai senjata utama, dan menghormati setiap perbedaan pandangan sebagai bagian integral dari proses demokrasi yang sehat.
Adab berpolitik termanifestasi dalam berbagai tindakan nyata. Seorang politisi yang beradab akan selalu mendahulukan fakta di atas opini saat menyampaikan gagasan. Ia akan melakukan kritik yang konstruktif, bukan sekadar menyerang karakter lawan politiknya. Bahkan dalam masa kampanye yang penuh tensi, seorang negarawan sejati akan menjaga martabat dirinya dan lawan kompetisinya.
Selain itu, adab juga menuntut akuntabilitas. Ketika seorang pemimpin membuat kesalahan, adab menuntut pengakuan dan pertanggungjawaban, bukan mencari kambing hitam. Dalam konteks pengambilan keputusan, adab mewajibkan transparansi sejauh mungkin, sehingga publik dapat mengawasi jalannya pemerintahan dengan jujur. Ini menciptakan kepercayaan publik yang merupakan modal sosial paling berharga dalam sebuah negara demokrasi.
Tantangan terbesar bagi adab berpolitik saat ini adalah penyebaran informasi yang masif melalui media sosial. Ruang digital seringkali menjadi arena di mana filter etika menjadi longgar. Anonimitas dan kecepatan interaksi memudahkan penyebaran hoax dan ujaran kasar. Oleh karena itu, dibutuhkan literasi politik yang tinggi dari masyarakat dan kesadaran diri yang kuat dari para pelaku politik untuk tidak terjerumus dalam budaya 'serang balik' yang tidak berfaedah.
Membumikan kembali nilai-nilai kesantunan dan etika dalam politik adalah pekerjaan kolektif. Ini membutuhkan keteladanan dari para pemimpin, pengawasan aktif dari masyarakat sipil, serta pendidikan politik yang jujur sejak dini. Ketika adab menjadi standar, maka politik di Indonesia akan bertransformasi dari pertarungan yang melelahkan menjadi arena konstruktif untuk memajukan bangsa. Kita harus ingat, tujuan akhir politik adalah kemaslahatan bersama, dan cara mencapainya haruslah terhormat.