Menuntut ilmu (thalab al-'ilm) merupakan kewajiban mulia bagi setiap muslim. Namun, keberhasilan dalam menuntut ilmu tidak hanya bergantung pada kecerdasan intelektual semata, tetapi sangat ditentukan oleh kualitas akhlak dan perilaku penuntut ilmu itu sendiri, yang secara kolektif dikenal sebagai **Adab Muta'allim**.
Adab secara etimologis berarti tata krama, sopan santun, atau etika. Dalam terminologi keilmuan Islam, adab melampaui sekadar formalitas; ia adalah manifestasi dari penghormatan mendalam terhadap ilmu, guru, fasilitas belajar, dan proses pencarian kebenaran itu sendiri. Seorang yang berilmu namun minim adab ibarat wadah indah yang berisi racun; sedangkan penuntut ilmu yang mengutamakan adab adalah wadah yang dipersiapkan untuk menampung kebenaran hakiki.
Adab ini membentuk fondasi mental dan spiritual yang memungkinkan ilmu terserap secara utuh, bukan hanya tersimpan sebagai data, tetapi terinternalisasi menjadi hikmah yang bermanfaat.
Tiga Pilar Utama Adab Muta'allim
Etika penuntut ilmu dapat dikelompokkan menjadi tiga fokus utama yang saling terkait erat:
1. Adab Terhadap Guru (Asy-Syaikh/Ustadz)
Guru adalah medium utama penyaluran ilmu yang telah diwariskan. Menghormati guru adalah menghormati ilmu yang dibawanya. Beberapa bentuk adab ini meliputi:
Ta'zhim (Mengagungkan dan Menghormati): Menjaga lisan dan perbuatan di hadapan guru. Tidak mendahului berbicara atau memotong pembicaraan guru kecuali dalam batasan yang diperbolehkan.
Ketaatan dalam Bimbingan: Menerima arahan guru dengan lapang dada, bahkan jika arahan tersebut terasa berat atau sulit. Ilmu akan sulit didapat jika ada penolakan terselubung terhadap metode pengajaran guru.
Menjaga Rahasia dan Privasi Guru: Tidak menyebarluaskan aib atau hal-hal pribadi guru yang tidak pantas diketahui publik.
Doa dan Kepedulian: Senantiasa mendoakan kebaikan bagi guru dan keluarganya, serta menunjukkan perhatian pada kondisi beliau.
2. Adab Terhadap Ilmu Itu Sendiri
Ilmu adalah warisan para nabi dan ulama. Oleh karena itu, ia harus diperlakukan dengan kemuliaan yang pantas:
Memuliakan Kitab: Memperlakukan buku, jurnal, atau catatan sebagai benda yang berharga. Menjaga kebersihannya, tidak menorehkan coretan yang merusak, dan tidak meletakkannya di lantai.
Mengamalkan Ilmu: Adab tertinggi terhadap ilmu adalah mengamalkannya. Ilmu yang tidak diamalkan dianggap ilmu yang tidak memiliki keberkahan dan mudah hilang dari ingatan.
Niat yang Murni (Ikhlas): Menuntut ilmu harus ditujukan semata-mata untuk mencari keridhaan Allah, bukan untuk mencari pujian, jabatan, atau harta duniawi.
Kesungguhan dalam Belajar: Tidak bermalas-malasan, tekun dalam pengulangan (tadarrus), dan disiplin waktu dalam proses belajar.
3. Adab Terhadap Diri Sendiri dan Lingkungan Belajar
Kesuksesan belajar juga bergantung pada kesiapan batiniah dan kondisi fisik penuntut ilmu:
Menjaga Kebersihan Diri (Thaharah): Berpakaian yang pantas dan bersih, terutama saat menghadiri majelis ilmu, menunjukkan penghormatan terhadap tempat dan ilmu yang dipelajari.
Kesopanan di Majelis: Tidak membuat kegaduhan, memilih tempat duduk yang tidak menghalangi pandangan orang lain, dan menghindari obrolan yang tidak relevan saat pelajaran berlangsung.
Kesabaran dan Tawadhu: Menerima kenyataan bahwa ada hal yang belum dipahami. Sikap rendah hati (tawadhu) membuat seseorang terbuka untuk menerima kebenaran dari siapa pun.
Memanfaatkan Waktu Luang: Mengisi waktu luang dengan tilawah, tadabbur, atau mengulang pelajaran, daripada menyia-nyiakannya dalam hal yang sia-sia.
Implikasi Kehilangan Adab
Sejarah dipenuhi dengan kisah para cendekiawan yang memiliki kapasitas otak luar biasa namun kehilangan ilmunya karena meremehkan adab. Imam Syafi'i pernah mengeluhkan hafalan yang melemah, dan gurunya menyarankan untuk meninggalkan maksiat dan fokus pada adab. Hasilnya, ilmu kembali mengalir deras.
Kehilangan adab dapat mengakibatkan beberapa hal serius:
Kerasnya Hati: Ilmu tidak dapat menembus hati yang sombong.
Lupa atau Hilangnya Ilmu: Ilmu yang didapat tanpa adab seringkali bersifat sementara dan mudah menguap.
Kesulitan dalam Mengajar: Ilmu tanpa adab hanya menjadi pengetahuan mati; sulit untuk ditularkan dengan cara yang membekas pada murid.
Jauh dari Keberkahan: Kehidupan menjadi kering meskipun dikelilingi oleh banyak informasi dan gelar.
Oleh karena itu, para ulama terdahulu sering menyatakan bahwa mereka belajar adab selama dua puluh tahun, dan baru belajar ilmu selama empat tahun. Ini menegaskan bahwa adab bukanlah pelengkap, melainkan prasyarat utama dalam perjalanan mulia menuntut ilmu.