Ilustrasi konsep pemikiran dan teks suci.
Diskursus mengenai teks-teks suci, khususnya Al-Qur'an, tidak pernah berhenti berevolusi seiring dengan perubahan zaman dan tantangan intelektual kontemporer. Di tengah dinamika ini, sosok intelektual perempuan Indonesia seperti Karlina Supelli menawarkan perspektif yang menarik dan kerapkali menantang ortodoksi tradisional. Meskipun Karlina dikenal luas sebagai filsuf feminis dan aktivis HAM, kontribusinya dalam ranah tafsir dan interpretasi keagamaan, terutama terkait Al-Qur'an, patut mendapatkan sorotan mendalam.
Karlina Supelli seringkali menempatkan dirinya pada persimpangan antara filsafat, spiritualitas, dan kritik sosial. Pendekatannya terhadap teks-teks keagamaan sering kali dipengaruhi oleh kebutuhan untuk mendamaikan wahyu dengan realitas kemanusiaan yang kompleks, terutama dalam konteks hak-hak perempuan dan isu-isu keadilan sosial. Ketika membahas Karlina Supelli Al-Qur'an, kita tidak sedang membahas seorang mufassir konvensional, melainkan seorang pembaca kritis yang melihat teks sebagai dialog berkelanjutan antara masa lalu dan masa kini.
Fokus utama dalam kajiannya adalah bagaimana narasi-narasi klasik diturunkan dan diinterpretasikan secara turun-temurun, dan apakah interpretasi tersebut masih relevan—atau bahkan menjadi penghalang—bagi kemajuan peradaban dan kesetaraan. Bagi Karlina, pembacaan ulang (hermeneutika) adalah sebuah keharusan etis. Teks suci harus mampu "berbicara" tanpa menghilangkan keadilan dan martabat manusia.
Salah satu ciri khas pemikiran yang muncul dari perspektif Karlina Supelli adalah penekanan pada konteks historis-sosial (kontekstualisasi) saat teks diturunkan, tanpa kemudian membekukan makna teks tersebut selamanya. Hal ini krusial ketika ia menyoroti ayat-ayat yang sering dijadikan landasan untuk menegaskan subordinasi perempuan.
Karlina mendorong pembaca untuk melihat teks Al-Qur'an tidak hanya sebagai dokumen hukum yang kaku, tetapi sebagai sumber inspirasi spiritual dan moral yang fleksibel. Ia berargumen bahwa ketika otoritas penafsir tunggal mendominasi, terjadi "penjinakan" makna yang menguntungkan struktur kekuasaan yang sudah ada. Oleh karena itu, pluralitas pembacaan—terutama yang datang dari suara-suara yang selama ini terpinggirkan—menjadi sangat penting untuk merebut kembali potensi emansipatoris dari teks suci tersebut.
Tentu saja, pembacaan Karlina Supelli terhadap Al-Qur'an sangat erat kaitannya dengan feminisme Islam. Ia mempertanyakan bagaimana penafsiran patriarkal telah berhasil meminggirkan dimensi spiritual perempuan. Baginya, jika Al-Qur'an adalah sumber kesetaraan universal sebagaimana sering diklaim, maka mengapa hasil interpretasi historisnya sering kali menghasilkan ketidaksetaraan struktural?
Pendekatan ini menuntut pembaca untuk kembali pada spirit awal pewahyuan: yaitu pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan, baik yang bersifat kultural, sosial, maupun teologis. Ini adalah upaya dekonstruksi terhadap lapisan-lapisan tafsir yang menutupi esensi ajaran. Karlina Supelli mengajak kita untuk menafsirkan ulang ayat-ayat tersebut dari sudut pandang korban penindasan, alih-alih dari sudut pandang pemegang kekuasaan.
Meskipun Karlina mungkin tidak secara eksplisit menulis kitab tafsir setebal mufassir klasik, warisan pemikirannya terletak pada pembukaan jalan epistemologis. Ia memberikan validasi intelektual bagi para sarjana Muslimah dan pemikir progresif lainnya untuk melakukan pembacaan ulang yang radikal namun tetap berakar pada spiritualitas. Diskusi mengenai Karlina Supelli Al-Qur'an kini menjadi bagian penting dari wacana modern mengenai bagaimana teks-teks kuno dapat tetap relevan dan adil dalam lanskap global abad ke-21. Tantangannya tetap sama: bagaimana mempertahankan kekudusan teks sambil membebaskan maknanya dari rantai interpretasi yang bersifat mengunci dan menindas.