Surat Al-Ikhlas, yang memiliki nama lain Al-Tauhid, adalah salah satu permata dalam Al-Qur'an. Terdiri hanya dari empat ayat pendek, surat ini memuat esensi ajaran Islam yang paling fundamental: pengesaan Allah SWT. Dalam konteks keislaman ala Nahdlatul Ulama (NU), pemahaman mendalam mengenai surat ini sangat ditekankan karena ia menjadi pondasi akidah yang kokoh, melawan segala bentuk penyimpangan tauhid.
Mengutip berbagai kajian keislaman yang sering dibahas di platform seperti NU Online, Surat Al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad) adalah manifesto ketauhidan. Ayat pertama, "Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa," segera menegaskan bahwa Tuhan yang disembah hanyalah satu, tidak bersekutu, dan tunggal. Dalam tradisi Sunni Walisongo yang dipegang teguh oleh NU, penolakan terhadap segala bentuk takhayul, sinkretisme, atau persekutuan (syirik) adalah prioritas utama. Al-Ikhlas berfungsi sebagai tameng spiritual dan intelektual terhadap pemikiran yang menyimpang dari garis Ahlussunnah Wal Jama'ah.
Kedua ayat berikutnya menjelaskan lebih lanjut sifat kesempurnaan Allah. "Allahus Shamad" (Allah tempat bergantung segala sesuatu). Ini menggarisbawahi konsep tawassul dan doa yang benar. Kita hanya boleh bergantung mutlak kepada-Nya, bukan kepada perantara yang diciptakan. Ketergantungan total ini menumbuhkan rasa rendah diri di hadapan kebesaran-Nya, sebuah sikap yang sangat dianjurkan dalam tasawuf dan tarekat yang diakui oleh NU.
Keutamaan Surat Al-Ikhlas seringkali disandingkan dengan sepertiga Al-Qur'an. Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menegaskan bahwa membaca surat ini setara dengan membaca sepertiga Al-Qur'an. Meskipun secara harfiah jumlah ayatnya tidak sepertiga, nilai maknawinya—yaitu memuat seluruh ajaran tauhid—menjadikannya setara. Hal ini menunjukkan bobot fundamental dari pesan yang dibawanya. Bagi santri dan warga NU, mengamalkan pembacaan surat ini secara rutin, misalnya setelah salat fardu atau sebelum tidur, adalah bagian dari upaya memperkuat iman.
Dalam konteks amaliah sehari-hari, surat ini juga sering dianjurkan untuk dibaca ketika menghadapi kesulitan atau rasa takut. Kepercayaan bahwa Allah adalah Esa dan tidak ada kekuatan yang menyamai-Nya memberikan ketenangan batin yang mendalam, sesuai dengan ajaran Islam moderat yang diusung oleh NU.
Dua ayat terakhir Al-Ikhlas mungkin adalah yang paling mendalam dalam menjelaskan keunikan Allah: "Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." Ayat ini secara tegas menepis konsep ilah yang memiliki keturunan (seperti dalam mitologi) dan secara filosofis menegaskan bahwa tidak ada yang bisa menyamai kemahakuasaan-Nya. Ini relevan dalam konteks dialog antaragama atau pemahaman teologi yang lebih luas; Al-Ikhlas adalah definisi tauhid yang ringkas dan absolut.
Keutamaan membaca surat Al-Ikhlas, menurut perspektif NU Online, tidak hanya berhenti pada aspek ritual semata. Ia membentuk karakter seorang Muslim yang ikhlas. Keikhlasan (berasal dari akar kata yang sama dengan Al-Ikhlas) berarti melakukan segala sesuatu murni karena Allah, tanpa mengharapkan pujian manusia atau imbalan duniawi. Ketika seseorang memahami bahwa Allah itu Esa dan Tak Tertandingi, maka tindakannya haruslah tertuju sepenuhnya kepada-Nya. Hal ini mendorong umat untuk beramal dengan niat yang murni, baik dalam ibadah mahdhah maupun dalam kontribusi sosial kemasyarakatan.
Oleh karena itu, mengkaji dan mengamalkan Surat Al-Ikhlas adalah langkah awal yang krusial bagi setiap Muslim yang ingin menapaki jalan kebenaran sesuai dengan manhaj Ahlussunnah Wal Jama'ah yang dianut oleh Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Banyak amalan sunnah yang melibatkan pembacaan Al-Ikhlas, seperti wirid pagi dan petang, atau bahkan sebagai bacaan yang dianjurkan sebelum tidur. Tujuannya adalah menanamkan kesadaran tauhid secara terus-menerus di dalam hati. Ketika hati telah tertanam tauhid yang kokoh, seorang Muslim akan memiliki keteguhan hati dalam menghadapi ujian dunia, karena ia tahu bahwa sandaran sejatinya hanya kepada Al-Shamad, Yang Maha Dibutuhkan.
Surat Al-Ikhlas mengajarkan kita untuk fokus pada esensi, bukan pada kemewahan atau kerumitan. Ia adalah kesederhanaan dalam penyampaian namun mengandung kedalaman makna yang mencakup seluruh spektrum teologi Islam.