Mediasi adalah salah satu metode alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR) yang semakin diakui dan diterapkan di Indonesia. Metode ini menawarkan jalan tengah yang lebih cepat, murah, dan fleksibel dibandingkan litigasi melalui pengadilan. Inti dari mediasi adalah proses di mana pihak ketiga yang netral—mediator—membantu para pihak yang bersengketa untuk berkomunikasi, memahami kepentingan masing-masing, dan mencapai kesepakatan yang saling memuaskan.
Pengaturan mengenai mediasi di Indonesia tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan, tergantung pada jenis sengketa yang dihadapi. Secara umum, peraturan ini bertujuan untuk mendorong para pihak agar mengutamakan penyelesaian musyawarah mufakat sebelum menempuh jalur formal. Pemahaman mendalam mengenai peraturan mediasi sangat krusial bagi setiap pihak yang terlibat dalam perselisihan.
Regulasi yang menjadi payung utama mediasi di Indonesia meliputi peraturan di ranah perdata umum, khusus, hingga sektoral.
Proses mediasi yang diatur dalam peraturan harus dijalankan secara independen dan rahasia. Berikut adalah tahapan umum yang sering dijumpai:
Dua prinsip utama yang ditegaskan dalam peraturan mediasi adalah kerahasiaan dan sifat sukarela.
Kerahasiaan berarti semua informasi, dokumen, atau pengakuan yang disampaikan selama proses mediasi tidak boleh diungkapkan kepada pihak ketiga, termasuk hakim, kecuali jika diizinkan secara tertulis oleh pihak yang memberikan keterangan. Prinsip ini vital untuk mendorong keterbukaan antarpihak.
Sementara itu, Sifat Sukarela menekankan bahwa partisipasi para pihak dan penerimaan solusi yang ditawarkan sepenuhnya berada dalam kendali mereka. Mediator tidak memiliki otoritas untuk memaksa pihak mana pun menerima kesepakatan. Hal ini berbeda dengan putusan hakim yang bersifat mengikat secara hukum. Jika mediasi gagal, para pihak bebas melanjutkan sengketa mereka ke pengadilan atau jalur penyelesaian sengketa lainnya.
Apabila mediasi berhasil, kesepakatan yang dicapai memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2016, kesepakatan tersebut dapat disahkan oleh hakim mediator dan dituangkan dalam bentuk Akta Perdamaian. Akta Perdamaian ini memiliki kekuatan hukum tetap dan wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Jika salah satu pihak ingkar janji, pihak lainnya dapat mengajukan permohonan eksekusi langsung ke pengadilan, sebagaimana putusan hakim berkekuatan hukum tetap.
Dengan kerangka peraturan yang jelas, mediasi menjadi instrumen penting dalam sistem peradilan Indonesia, memastikan bahwa penyelesaian sengketa berorientasi pada dialog, pemulihan hubungan (jika relevan), dan efisiensi proses hukum.