Pujian Jawa Setelah Adzan: Keindahan Spiritual Lokal

Di tengah dinamika ibadah Islam yang universal, tradisi keagamaan lokal sering kali menyuguhkan kekayaan dan keunikan tersendiri. Salah satu praktik yang sangat kental nuansa budayanya di Jawa adalah tradisi melantunkan pujian atau shalawat dalam bahasa Jawa sesaat setelah adzan selesai dikumandangkan. Praktik ini, yang seringkali dilakukan secara berjamaah di masjid-masjid pedesaan maupun perkotaan, menjadi jembatan antara ajaran agama yang murni dan kearifan lokal yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Jawa.

Ilustrasi simbol doa dan keharmonisan.

Signifikansi Waktu Setelah Adzan

Adzan adalah panggilan sakral untuk melaksanakan salat. Setelah seruan ini berakhir, terdapat jeda singkat sebelum iqomah dikumandangkan. Momen inilah yang dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa untuk melantunkan pujian. Secara teologis, waktu antara adzan dan iqomah dipercaya sebagai salah satu waktu mustajab untuk berdoa. Pujian yang dilantunkan, biasanya berisi shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan pengagungan terhadap Allah SWT dalam bahasa yang sangat familiar bagi mereka, yaitu bahasa Jawa.

Pujian Jawa yang populer seringkali menggunakan kosakata yang sarat dengan nuansa 'kromo' (bahasa Jawa halus) atau 'ngoko' (bahasa Jawa sehari-hari), tergantung konteks dan tradisi setempat. Liriknya tidak sekadar pengulangan teks Arab, melainkan merupakan tafsir kontekstual yang menyentuh hati, menghubungkan keimanan dengan nilai-nilai luhur Jawa seperti andhap asor (rendah hati) dan manunggaling kawula Gusti (penyatuan diri dengan Tuhan).

Bentuk dan Isi Pujian Jawa

Berbeda dengan tradisi lain yang mungkin fokus pada lantunan nasyid modern, pujian Jawa pasca-adzan cenderung lebih syahdu dan meditatif. Beberapa bentuk yang sering dijumpai meliputi:

Contoh lirik yang sering muncul adalah ungkapan "Ya Allah, Gusti ingkang Maha Kuwasa..." yang kemudian dilanjutkan dengan permohonan agar segala urusan dipermudah. Keunikan utama terletak pada penggunaan kata-kata seperti 'Gusti' (Tuhan), 'Kanjeng Nabi' (Nabi yang dimuliakan), dan 'Panjenengan' (bentuk sapaan yang sangat hormat).

Fungsi Sosial dan Spiritual

Fungsi dari tradisi ini melampaui sekadar ritual keagamaan. Secara spiritual, pujian ini membantu umat muslim Jawa untuk menenangkan diri dan memfokuskan kembali niat sebelum memasuki shalat fardhu. Ini adalah proses transisi psikologis dari hiruk pikuk duniawi menuju kekhusyukan ibadah.

Secara sosial, praktik ini mempererat solidaritas jamaah. Ketika semua orang bersama-sama melantunkan pujian dengan intonasi yang serempak, tercipta rasa kebersamaan dan kekompakan spiritual. Masjid bukan hanya tempat salat, tetapi juga pusat pelestarian budaya lisan religius. Meskipun kini banyak generasi muda lebih terpapar musik Islami kontemporer, tradisi pujian pasca-adzan ini masih gigih dipertahankan oleh para sesepuh dan menjadi warisan tak benda yang berharga.

Harmoni Antara Agama dan Budaya

Pujian Jawa setelah adzan adalah contoh nyata bagaimana Islam di Nusantara, khususnya di Jawa, mampu beradaptasi dan berakulturasi tanpa menghilangkan esensi ajaran. Bahasa dan idiom lokal digunakan sebagai wadah untuk mengekspresikan inti ajaran Islam—tauhid dan shalawat—dengan cara yang terasa lebih dekat dan intim. Keindahan melodi dan kedalaman makna dalam bahasa Jawa memberikan dimensi estetika tersendiri dalam menjalankan syariat.

Pelestarian tradisi ini penting agar generasi mendatang tetap memahami bahwa ibadah dapat diekspresikan melalui berbagai medium budaya, asalkan tetap berada dalam koridor keimanan yang benar. Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal dapat menjadi pelengkap yang memperkaya praktik keagamaan, bukan malah meniadakannya.

Semoga keberkahan menyertai setiap lantunan pujian kita.
🏠 Homepage